Dissenting Opinion Saldi Isra: Putusan MK Berubah Setelah Adik Ipar Jokowi Ikut Rapat
Setelah Anwar Usman ikut rapat, putusan MK yang sebelumnya menolak jadi mengabulkan.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Rizky Suryarandika, Fauziah Mursid
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/10/2023) yang mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) diwarnai oleh perbedaan pendapat dari hakim MK. Perkara yang dikabulkan MK diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A.
Dua hakim MK menyatakan concurring opinion atau alasan berbeda, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Lalu ada pula empat pendapat berbeda atau dissenting opinion dari Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, Suhartoyo.
Hakim MK Saldi Isra mengungkapkan sikapnya mengenai beberapa putusan permohonan ihwal batasan usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) yang terkesan aneh. Saldi mengaku dirinya bingung karena putusan MK dinilai berubah-ubah dalam waktu dekat.
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi dalam pembacaan pendapat berbedanya di ruang sidang MK, Senin (16/10/2023).
Kebingungan yang dimaksud oleh Saldi adalah mulanya putusan MK menolak permohonan PSI yang meminta batasan usia capres-cawapres turun dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Namun, setelah putusan itu, MK memutuskan menerima sebagian atas permohonan Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa UNS yang mengajukan minimal usia capres-cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.
"Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi mengungkapkan.
Saldi menjelaskan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU- XXI/2023), Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Dengan adanya putusan itu, sadar atau tidak, gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, Wagub Jawa Timur Emil Dardak Dkk menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan putusan sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?" kata dia menjelaskan.
Saldi menerangkan, secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden dalam norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gelombang pertama 29-51-55/PUU-XXI/2023.
Saldi melanjutkan, dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada tanggal 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. Saat itu ada delapan hakim yang memutus perkara di mana dua hakim menyatakan dissenting opinion.
"Hasilnya enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang," kata Saldi.
Selanjutnya, dalam perkara gelombang kedua, yakni perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Ketua MK Anwar Usman, yang diketahui adalah adik ipar Presiden Jokowi, ikut memutus dalam perkara tersebut. Kehadiran Anwar Usman itu, menurut Saldi, tidak hanya menambah jumlah hakim pemutus perkara tapi juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan sebagian permohonan.
“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” kata Saldi.
Pada Senin kemarin, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal capres dan cawpres. Sebanyak enam gugatan ditolak.
Tetapi, MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.
Ada enam perkara lain yang ditolak oleh Anwar Usman cs. Demikian perinciannya:
1. Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili Giring Ganesha Djumaryo, Dea Tunggaesti, Dedek Prayudi, Anthony Winza Probowo, Danik Eka Rahmaningtyas, dan Mikhail Gorbachev Dom. Para pemohon memilih Michael, Francine Widjojo, dkk sebagai kuasa hukum. Permohonan ini diterima MK pada 9 Maret 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 35 tahun. MK menyatakan menolak permohonan ini.
2. Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda diwakili Ketua Umum Ahmad Ridha Sabana dan Sekjen Yohanna Murtika sebagai pemohon. Permohonan ini diterima MK pada 2 Mei 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. MK menolak permohonan ini.
3. Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak. Permohonan ini diterima MK pada 5 Mei. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. MK menolak permohonan ini.
4. Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh mahasiswa bernama Arkaan Wahyu Re A. Dia memberikan kuasa kepada Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk. Permohonan ini diterima MK pada 4 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 21 tahun. MK menyatakan permohonan tidak dapa diterima karena kehilangan objek gugatan.
5. Perkara Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung sebagai pemohon. Permohonan ini diterima MK pada 7 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 25 tahun. MK menyatakan permohonan tidak dapa diterima karena kehilangan objek gugatan.
6. Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang diajukan warga bernama Soefianto Soetono dan Imam Hermanda. Permohonan ini diterima MK pada 18 Agustus 2023. Pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 30 tahun. MK mengabulkan menarik gugatan oleh pemohon.
Di sisi lain, hakim MK Guntur Hamzah menegaskan dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama, tetapi karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Pernyataan Guntur lantas membuat ditolaknya permohonan gugatan batas usia Capres/Cawapres tak berarti. Sebab, gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap bisa diterima.
"Artinya putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya," ujar Guntur.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengaku tidak heran atas putusan MK yang akhirnya membuka pintu untuk Gibran Rakabuming Raka berkontestasi di Pilpres 2024. Sebab, menurut Ujang, sebelumnya ada bocoran MK memang menolak uji materi batas usia cawapres, tetapi mengakomodasi syarat pernah berpengalaman menjadi kepala daerah.
"Jadi usianya tetap, tetapi narasi penambahan pernah menjabat kepala daerah itu akan diputuskan, ternyata betul putusannya, prediksi-prediksi bocoran itu ternyata benar. Jadi ya kelihatannya ini memang didesain TSM terstruktur sistematis dan masif ya dari kelompok tertentu untuk menggunakan Mahkamah Konstitusi melegalkan Gibran ya sebagai cawapres," ujar Ujang dalam keterangannya kepada Republika, Senin (16/10/2023).
Ujang pun menyebut putusan MK sebagai tragedi demokrasi yang tidak bagus. Menurut Ujang, MK menunjukkan kelasnya dengan tidak bersikap negarawan untuk kepentingan bangsa dan masyarakat luas.
"Mestinya hakim MK menjadi seorang negarawan untuk bangsa dan negara bukan untuk kepentingan Jokowi dan keluarganya, apalagi hanya untuk kepentingan Gibran mengakomodasi sebagai cawapres," ujarnya.
Karena itu, Ujang pun menilai sudah sewajarnya jika publik mulai tidak memiliki kepercayaan kepada MK sebagai lembaga penjaga konstitusi. Apalagi, narasi putusan ini telah muncul sebelum putusan dan terbukti benar.
"Publik itu sudah membaca arah-arah putusan MK itu sejak lama, bocoran itu kan sudah ada dan betul, apa yang ditangkap oleh kita semua, MK memang menerima Gibran sebagai cawapres ujungnya seperti itu karena ada frasa asal punya pengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah," ujarnya.
"Jadi kelihatannya permainan politik tingkat tinggi ya yang sudah kita baca sejak lama ya, inilah Indonesia, instrumen hukum itu kelihatannya masih bisa dikendalikan oleh kekuasaan," tambahnya.
Adapun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) enggan memberikan tanggapannya terkait putusan MK yang mengabulkan uji materiil batas usia minimal capres cawapres. Jokowi mengatakan, putusan tersebut merupakan kewenangan lembaga yudikatif.
"Ya mengenai putusan MK silakan ditanyakan ke Mahkamah Konstitusi, jangan saya yang berkomentar," kata Jokowi dalam keterangan pers terkait putusan Mahkamah Konstitusi di Beijing, yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Senin (16/10/2023).
- putusan mk
- sidang putusan mk
- putusan mk capres cawapres
- sidang putusan usia capres
- sidang putusan usia capres cawapres
- gibran rakabuming raka
- gibran bisa maju cawapres
- cawapres gibran
- pilpres 2024
- anwar usman
- saldi isra
- hasil putusan mk
- sidang mk
- sidang gugatan usia capres
- putusan mahkamah konstitusi