Jurnalis Gaza Berpacu dengan Tenggat Waktu dan Kematian

Para jurnalis yang mengenakan rompi dan helm pelindung tak luput dari sasaran Israel.

AP
Warga Palestina membawa jenazah jurnalis Palestina, Mohammed Soboh dan Said al-Tawil. Keduanya gugur dalam serangan mematikan Israel pada 10 Oktober 2023
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Wartawan lepas Rakan Abdelrahman mengenakan rompi dengan tulisan "Pers" dan siap melaporkan pemboman Israel di Jalur Gaza. Abdelrahman, yang karyanya pernah muncul di Middle East Eye dan The National, tidak hanya sekadar meliput sebuah berita namun berpacu dengan waktu dan kematian.

Jurnalis Palestina di Jalur Gaza, seperti Abdelrahman, berusaha melawan rintangan dan kematian untuk mengabarkan situasi perang di Gaza ke seluruh dunia di tengah kesulitan yang mengancam pekerjaan mereka. Selama 10 hari, pesawat-pesawat tempur Israel telah membom wilayah pesisir tanpa henti.

Baca Juga



Sebanyak 2.808 warga Palestina meninggal dunia akibat serangan Israel dan seperempat dari mereka adalah anak-anak.  Sebanyak 10.859 orang lainnya terluka akibat pemboman udara. Pada Senin (16/10/2023) Kementerian Dalam Negeri mengatakan, lebih dari 1.000 jenazah warga Palestina terjebak di bawah reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh bom.

Pekan lalu, Israel mengebom menara komunikasi di wilayah yang terkepung dan memutus aliran listrik ke satu-satunya pembangkit listrik di wilayah tersebut.  Tindakan ini merupakan bagian dari pengepungan total yang diterapkan Israel sebagai respons terhadap serangan mengejutkan Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023.

Pemboman dan pengepungan telah menyebabkan Jalur Gaza tidak memiliki akses internet atau listrik yang dapat diandalkan.  Hal ini membuat pekerjaan jurnalis, yang sudah berisiko dan menantang di zona perang, menjadi semakin sulit.

“Karena koneksi internet yang buruk dan pemadaman listrik, kami tidak dapat melaporkan sesuatu secara real-time.  Lagipula tidak ada tempat yang layak untuk bekerja,” kata Abdelrahman kepada Aljazirah.

Abdelrahman menambahkan, para jurnalis yang mengenakan rompi pers dan helm pelindung tidak luput dari sasaran Israel. “Kami tidak dapat meliput lokasi pembantaian atau bahkan mencapai tempat-tempat yang telah dibom karena takut serangan Israel lainnya akan menargetkan wilayah yang sama,” kata Abdelrahman. 

“Setiap detik Anda berada dalam bahaya.  Rekan-rekan kami telah membayar harga dengan nyawa mereka, seperti Saeed al-Taweel, Mohammed Subh dan Hisham Alnwajha," ujar Abdelrahman.

Ketiga jurnalis yang disebutkan oleh Abdelrahman terbunuh pada 10 Oktober ketika merekam sebuah gedung di Kota Gaza yang akan dibom.  Mereka semua berdiri pada jarak yang aman, ratusan meter dari sasaran gedung Hiji. Namun serangan udara malah menghantam gedung lain, yang lebih dekat dengan mereka.

Penduduk di Jalur Gaza mengatakan, perang saat ini adalah yang paling ganas dari serangan-serangan sebelumnya dalam 15 tahun terakhir.  Setidaknya 1 juta orang telah menjadi pengungsi internal.

Abdelrahman mengatakan, selain rasa takut terkena serangan bom, dia juga khawatir dengan keluarga dan keempat anaknya. Abdelrahman mengatakan, sangat sulit bagi anak-anaknya untuk melalui masa perang yang traumatis ini.

“Saya memikirkan kondisi psikologis mereka, paparan mereka terhadap perang yang mengerikan ini. Selama perang Israel sebelumnya, mereka masih terlalu muda untuk mengingatnya, namun kini setelah mereka tumbuh besar, sangat sulit bagi mereka dan saya untuk menyaksikan ketakutan yang menyelimuti mereka," ujar Abdelrahman.

Moresponden saluran TV al-Roya Yordania, Ghazi al-Aloul mengatakan, mengatasi ketakutan adalah bagian tak terpisahkan dari menjadi jurnalis di Jalur Gaza. Pikiran para jurnalis terpecah antara menyampaikan kebenaran dengan penuh risiko dan memikirkan nasib keluarga di rumah.

“Tentu saja, Anda terpecah antara tanggung jawab Anda sebagai jurnalis dalam menyampaikan kebenaran dan risiko yang menyertainya, versus apa yang keluarga Anda alami. Saya pikir kami sudah terbiasa dengan tekanan-tekanan ini sekarang.  Kami akan selalu melanjutkan pekerjaan kami, apa pun rintangan yang menghadang," ujar al-Aloul.

al-Aloul mengatakan, Israel telah bertindak dengan impunitas dan mengabaikan hukum internasional. Dua hal ini selalu ditegaskan oleh para jurnalis Gaza.

“Kita semua tahu bahwa Israel bertindak dengan impunitas total dan mengabaikan hukum internasional, dan kami selalu berusaha menyampaikan hal itu sebanyak mungkin dalam liputan kami,” ujar al-Aloul.

Al-Aloul mengakui, jurnalis mengetahui risiko yang akan terjadi terhadap nyawa mereka dan ada kemungkinan mereka justru menjadi pemberitaan. Namun kematian rekan-rekan jurnalis memberikan motivasi lebih untuk terus melanjutkan tugas mereka yang telah gugur di medan perang.

“Kami, sebagai jurnalis, selalu membuktikan bahwa kami mampu menjalankan tugas kami. Kami juga bersikeras menunjukkan kekejaman yang dilakukan Israel terhadap kami," kata al-Aloul.

Akibat kurangnya internet dan listrik, banyak jurnalis yang tidak bekerja dari kantor medianya.  Sebaliknya, mereka berkumpul di kafe mana pun yang buka, saling mengkonfirmasi informasi dan membuat laporan.

Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza juga menjadi pusat jurnalis dan reporter. Di rumah sakit ini mereka punya kesempatan untuk mengisi daya ponsel mereka dengan menggunakan generator.
Hal ini juga memberi mereka akses terhadap informasi yang sebelumnya tidak mereka ketahui, seperti korban yang meninggal dunia dan korban luka yang datang dari berbagai daerah yang dibom oleh Israel.

“Ketika tidak ada internet, hal ini mengakibatkan penyensoran terhadap jurnalis karena mereka tidak dapat melaporkan informasi atau berita di berbagai wilayah di Jalur Gaza,” kata Shorouq Shaheen, koresponden Syria TV.

Minimnya pasokan listrik membuat ruang gerak para jurnalis di Gaza menjadi terbatas. Mereka tidak dapat leluasa bergerak bebas untuk melaporkan pemboman Israel di seluruh Gaza.

“Kami masih meliput berita, namun liputan kami menjadi terbatas. Kami mengetahui di mana serangan udara Israel terjadi ketika korban meninggal dan terluka datang ke rumah sakit.  Namun apa yang terjadi dengan serangan di tempat berbeda yang tidak dapat kita capai?  Bagaimana kita bisa segera membahasnya?," ujar Shaheen. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler