Nasib Mahasiswa AS Pro-Palestina, Dikeluarkan dari Kampus Hingga Doxing
Donor pro-Israel menghancurkan aktivisme pro-Palestina melalui intimidasi dan ancaman
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kelompok hak asasi manusia memperingatkan ancaman mengerikan terhadap kebebasan berpendapat mahasiswa di kampus-kampus Amerika Serikat. Langkah ini seiring dengan upaya para donor pro-Israel untuk menghancurkan aktivisme pro-Palestina melalui intimidasi dan ancaman.
Tiga mahasiswa Ivy League dilaporkan telah dikeluarkan oleh firma elit, Davis Polk & Wardwell. Sementara seorang mahasiswa hukum Universitas New York ditolak oleh Winston & Strawn karena dukungan mereka terhadap Palestina dan mengkritik perilaku Israel.
Di Universitas North Carolina, seorang mahasiswa keturunan Palestina-Amerika hidup dalam ketakutan setelah terkena doxing oleh situs pro-Israel. Doxing atau Doksing, adalah sebuah tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik terhadap individu atau organisasi.
Upaya untuk membungkam suara pendukung Palestina sudah menjadi rahasia umum. Sebuah kelompok pro-Israel mengendarai truk papan reklame di dekat Harvard yang memajang nama dan foto puluhan mahasiswa pro-Palestina.
Memasukkan aktivis ke dalam daftar hitam melalui intimidasi publik, yang dikenal sebagai “doxing”, telah menjadi taktik utama untuk menekan ekspresi pro-Palestina di kampus. Badan Hukum Palestina memperingatkan, mahasiswa kini menerima ancaman pembunuhan atas pembelaan mereka.
Reaksi ini dimulai setelah para mahasiswa menandatangani surat Komite Solidaritas Palestina Harvard (PSC) yang menyalahkan Israel atas kekerasan di Palestina. Pernyataan PSC mengatakan bahwa, mereka menganggap rezim Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas semua kekerasan yang terjadi.
Sebagai tanggapan atas surat itu, The Wexner Foundation telah menghukum Harvard dengan memotong dana karena tidak mengecam keras advokasi hak-hak Palestina. Miliarder donor seperti Ronald Lauder juga mengancam akan menarik dana dari University of Pennsylvania atas dugaan anti-Semitisme.
Ironisnya, kelompok Yahudi di Harvard, Hillel, mengecam doxing tersebut sebagai intimidasi yang tidak dapat diterima dan kontra-produktif terhadap pendidikan dan dialog di kampus.
“Harvard Hillel mengutuk keras segala upaya untuk mengancam dan mengintimidasi para penandatangan pernyataan Komite Solidaritas Palestina, termasuk bus di kampus yang menampilkan nama dan wajah mahasiswa yang berafiliasi dengan kelompok yang menandatanganinya,” kata kelompok Yahudi tersebut.
Kelompok Hillel mengatakan, dalam situasi apa pun mahasiswa tidak boleh menjadi sasaran intimidasi publik. Intimidasi seperti itu kontra-produktif terhadap pendidikan.
Namun suara-suara yang membela kebebasan berekspresi ditenggelamkan oleh lobi pro-Israel yang berusaha meredam kritik terhadap Israel melalui ancaman koersif. Akibatnya, pelaksanaan hak-hak dasar kini membawa konsekuensi buruk bagi para pelajar yang bersuara untuk Palestina.
Organisasi hak asasi manusia dan sastra, PEN, mengutuk pelecehan terhadap mahasiswa mana pun dan apa pun sudut pandang mereka. PEN menyebut kampanye terhadap mahasiswa sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi.