Akses Sanitasi Kurang, Perempuan Gaza Terpaksa Minum Pil Penunda Menstruasi

Pil norethisterone mencegah peluruhan dinding rahim yang menyebabkan menstruasi.

Mahmud HAMS / AFP
Seorang gadis muda membawa makanan yang didistribusikan di kamp darurat di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada (25/10/2023). Perempuan Gaza terpaksa meminum pil penunda menstruasi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Banyak perempuan Palestina yang terpaksa meminum pil penunda menstruasi karena kondisi yang tidak sehat dan menyedihkan akibat serangan Israel yang terus berlanjut di Gaza. Kurangnya akses terhadap air dan produk kebersihan menstruasi seperti pembalut wanita dan tampon membuat para perempuan Gaza mengonsumsi obat pil norethisterone untuk menunda menstruasi.

Baca Juga


Seorang konsultan medis kebidanan dan ginekologi di Nasser Medical Complex di selatan Kota Khan Younis, Dr Walid Abu Hatab mengatakan, obat tersebut menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi untuk menghentikan rahim melepaskan lapisannya sehingga menunda menstruasi. Pil tersebut mungkin memiliki efek samping seperti pendarahan vagina yang tidak teratur, mual, perubahan siklus menstruasi, pusing dan perubahan suasana hati. Namun, beberapa wanita seperti Salma Khaled mengatakan, mereka tidak punya pilihan selain mengambil risiko di tengah gencarnya pengeboman Israel dan blokade Gaza.

Salma meninggalkan rumahnya di lingkungan Tel al-Hawa di Kota Gaza dua pekan lalu dan tinggal di rumah kerabatnya di kamp pengungsi Deir el-Balah di Gaza tengah. Wanita berusia 41 tahun ini mengatakan, dia terus-menerus berada dalam ketakutan, ketidaknyamanan dan depresi, yang berdampak buruk pada siklus menstruasinya.

“Saya mengalami hari-hari tersulit dalam hidup saya selama perang ini. Saya mendapat menstruasi dua kali dalam bulan ini, yang sangat tidak teratur bagi saya, dan mengalami pendarahan hebat," ujar Salma, dilansir Aljazirah, Selasa (31/10/2023).

Salma mengatakan, persediaan pembalut di beberapa toko dan apotek yang masih buka tidak mencukupi. Sementara itu, berbagi rumah dengan puluhan kerabat di tengah kekurangan air telah membuat kebersihan rutin menjadi sebuah kemewahan, bahkan mustahil. Penggunaan kamar mandi harus dijatah, dan mandi dibatasi beberapa hari sekali.

Apotek dan toko sama-sama menghadapi berkurangnya persediaan akibat pengepungan total yang dilakukan Israel. Selain itu, pengeboman Israel terhadap jalan-jalan utama di Jalur Gaza telah menghambat pengangkutan produk-produk medis ke apotek.

Tanpa sarana untuk mengatur menstruasi seperti biasanya, Salma memutuskan untuk mencoba mencari pil penunda menstruasi. Obat penunda menstruasi umumnya lebih banyak tersedia di beberapa apotek karena jarang digunakan.

“Saya meminta putri saya pergi ke apotek dan membeli pil penunda menstruasi. Mungkin perang ini akan segera berakhir dan saya tidak perlu menggunakannya lebih dari sekali," ujar Salma yang mengkhawatirkan kemungkinan efek samping pil tersebut pada tubuhnya.

Salma menyesali dampak perang terhadap....

 

 

 

 

 

Salma menyesali dampak psikologis dan fisik perang terhadap perempuan. Karena banyak dari mereka tidak hanya dicekam oleh kekhawatiran seperti kesehatan menstruasi tetapi juga bagaimana cara merawat anak-anak mereka. 

“Dalam perang, kami dipaksa melakukan apa pun yang kami bisa. Tidak pernah ada pilihan," kata Salma.

Lebih dari 1,4 juta orang telah menjadi pengungsi di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023. Mereka hidup dalam kondisi yang memprihatikan. Mereka berdesakan di sekolah PBB yang diubah menjadi tempat penampungan,  sehingga tidak ada ruang untuk privasi.

Dampak serangan Israel, yang kini memasuki hari ke-25, sangat menghancurkan.  Lebih dari 8.500 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. 

Menurut Nevin Adnan, seorang psikolog dan pekerja sosial yang berbasis di Kota Gaza, perempuan biasanya mengalami gejala psikologis dan fisik pada hari-hari sebelum dan selama menstruasi, seperti perubahan suasana hati dan nyeri perut bagian bawah dan punggung. Gejala-gejala ini dapat memburuk pada saat stres seperti perang yang sedang berlangsung. Selain itu, bisa juga terjadi peningkatan gejala fisik yang berhubungan dengan menstruasi, seperti sakit perut dan punggung, sembelit dan kembung.

“Perpindahan menyebabkan stres yang ekstrim dan itu mempengaruhi tubuh wanita serta hormonnya,” ujar Adnan.

Adnan menambahkan, wanita mungkin mengalami insomnia, rasa gugup terus-menerus, dan ketegangan ekstrem. Adnan mengatakan, saat ini lebih banyak perempuan yang bersedia meminum pil penunda menstruasi untuk menghindari rasa malu karena kurangnya kebersihan, privasi, dan produk kesehatan yang tersedia.

Adnan mengatakan, dalam keadaan normal, berkonsultasi dengan dokter sebelum meminum tablet ini penting untuk mengetahui efek pil samping pil tersebut dan penggunaannya yang berkelanjutan terhadap kesehatan fisik wanita. “Hal ini dapat mempengaruhi perubahan hormonal alami seorang wanita, tanggal menstruasinya di bulan berikutnya, jumlah darah yang keluar, dan apakah menstruasinya berhenti,” kata Adnan.

Samira al-Saadi, yang mengungsi bersama keluarganya di sebuah sekolah yang dikelola PBB di sebelah barat Khan Younis, berharap dia bisa berbuat lebih banyak untuk putrinya yang berusia 15 tahun. Putri Samira mendapat menstruasi pertamanya beberapa bulan lalu. Putri Samira kewalahan karena baru saja mulai menstruasi dan harus mengatur menstruasinya di tempat penampungan yang padat.

“Dia membutuhkan pembalut dan air untuk mencuci, tapi kebutuhan dasar ini tidak tersedia," ujar Samira.

Salma khawatir jika putrinya mengonsumsi....

 

 

 

 

Samira khawatir jika putrinya mengonsumsi pil penunda menstruasi akan berdampak pada kesehatannya. “Dia tidak mengerti kenapa dia harus melalui semua ini. Saya mencoba membantunya, tapi apa yang dia butuhkan tidak ada," kata Samira.

Warga Gaza lainnya, Ruba Seif yang tinggal di tempat penampungan bersama keluarganya mengatakan, dia tidak dapat menahan kram di perutnya saat menstruasi. Selain itu, dia juga kelelahan karena kurang tidur dan kedinginan ketika malam hari.

“Tidak ada privasi, tidak ada air di kamar mandi, dan kami tidak bisa keluar dengan mudah untuk mencari apa yang kami butuhkan. Saya tidak dapat menahan kram menstruasi selain rasa takut yang terus-menerus kami alami, kurang tidur, dan kedinginan karena tidak cukup selimut," ujar Ruba.

Ruba sibuk mengasuh keempat anaknya. Anak sulungnya berusia 10 tahun dan anak bungsunya berusia dua tahun. Ruba akhirnya meminta tolong kepada kakaknya untuk mencarikan obat penunda haid.  Setelah mencari di beberapa apotek akhirnya dia menemukannya.

 

“Wanita lain di sekitar saya di sekolah meminta pil ini kepada saya. Salah satu dari mereka mengatakan kepada saya bahwa dia telah melalui masa terburuk dalam hidupnya.  Saya tahu efek samping negatifnya, tapi pil ini jauh lebih berbahaya daripada misil, kematian, dan kehancuran di sekitar kita," ujar Ruba.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler