MKMK: Saldi Isra tak Langgar Kode Etik Atas Dissenting Opinion Putusan Batas Usia Capres
MKMK menilai dissenting opinion Saldi Isra, kemerdekaan berpendapat dalam putusan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra tidak melanggar kode etik dan perilaku hakim MK mengenai perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang disampaikan dalam putusan Perkara 90 soal batas usia capres-cawapres. Hal itu disampaikan oleh Majelis Kehormatan MK dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (7/11/2023) sore.
"Menimbang berdasarkan uraian dan fakta yang terungkap bahwa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK terkait dissenting opinion tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam agenda keputusan MKMK soal kode etik dan perilaku hakim MK di Gedung MK, Selasa.
Putusan itu dibacakan bersama dengan anggota MKMK lainnya, yakni Bintan S. Saragih dan Wahiduddin Adams. Pembacaan keputusan itu menyikapi adanya laporan dari empat pemohon yang melaporkan Saldi Isra mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim MK.
Berdasarkan penjelasan keputusan MKMK, Jimly menyatakan telah membaca, mendengar, dan memeriksa keterangan dari hakim konstitusi terkait serta pihak saksi dalam laporan tersebut. Lantas MKMK melakukan pertimbangan hukum dan etika yang menjadi kewenangannya.
"Permasalahan pelapor adalah apakah boleh suatu pendapat berbeda atau dissenting opinion yang kontra dari mayoritas keputusan hakim disusun secara provokatif, menjatuhkan kolega sesama hakim dan tidak koheren," jelas dia.
Menurut MKMK, pendapat berbeda atau dissenting opinion yang disampaikan oleh Saldi Isra tidaklah masalah sebagai bentuk kemerdekaan dalam berpendapat. Sehingga, isu atau masalah dugaan pelanggaran kode etik dianggap tidak relevan.
MKMK menemukan fakta hukum bahwa pendapat berbeda atau dissenting opinion dimuat paragraf 6.25 sampai 6.72.2 putusan Nomor 90, memuat aspek hukum acara tatkala menguraikan dinamika dan mekanisme pengambilan keputusan.
"MK menemukan fakta hukum bahwa ditulis bahasa penuh emosi, berdasarkan temuan fakta hukum menurut MKMK, Saldi Isra tidak dapat dikatakan melanggar kode etik disebabkan dissenting opinion. Ada ruang pada bagian awal pendapat berbeda yang mengungkapkan sisi emosional tapi itu bukan pelanggaran kode etik," jelasnya.
Diketahui, ada empat pelapor yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik. Yakni dari Advokasi Rakyat untuk Nusantara, perorangan yang tergabung dalam Komunitas Advokat Lintas Nusantara (LINTAS), perorangan yang tergabung dalam Lembaga Badan Hukum Cipta Karya Keadilan, dan Tim Advokat Pengawal Konstitusi.
Sebelumnya diketahui, MKMK telah dijadwalkan pada Selasa (7/11/2023) membacakan putusan Perkara Nomor 90/PPU/XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Putusan MKMK dibacakan sebelum penetapan peserta Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2024 pada 13 November 2023. MKMK menyatakan bahwa putusan MK terkait syarat batas minimal usia capres cawapres harus dikawal oleh MKMK agar ada kepastian.
Majelis Kehormatan MK tercatat sudah menuntaskan pemeriksaan terhadap pelapor dan terlapor pada Jumat lalu, dalam perkara dugaan pelanggaran etik hakim MK di putusan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden. MKMK bahkan melengkapi keterangan dengan menyertakan bukti rekaman kamera pengawas atau CCTV di MK.
Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau dissenting opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.