Terjadi Prahara Etik Ketua Mahkamah Konstitusi, Begini 2 Cara Agar MK Kembali Bermartabat!
Prahara etik pada Mahkamah Konstitusi (MK) terjadi sejak dibacakan Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut cenderung menunjukan perilaku tidak berintegritas hakim MK.
JAKARTA - Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) baru-baru ini memberikan bukti bahwa semua hakim terlapor melanggar kode etik.
Prahara etik pada Mahkamah Konstitusi (MK) terjadi sejak dibacakan Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut cenderung menunjukan perilaku tidak berintegritas hakim MK.
Secara khusus, perilaku tidak berintegritas hakim MK dalam putusan batas usia capres dan cawapres tidak berupaya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
Faktanya bahwa melalui putusan MKMK semua hakim konstitusi ewuh pakewuh untuk dapat mencegah adanya konflik kepentingan atau terjadi pembiaran.
Mengapa terjadi pembiaran? Hal itu dapat dikatakan karena lemahnya pengawasan etik internal hakim MK. Akibatnya menjadi preseden buruk dan martabat MK runtuh.
Untuk itu, prahara etik MK perlu direspon dengan merekonstruksi kembali adanya pengawas etik dari eksternal yang aktif, agar tidak terjadi kasus yang sama.
Perlu diingat kembali bahwa pengawasan etik hakim MK seblumnya merupakan kewenangan Komisi Yudisial (KY), namun kewenangan tersebut diamputasi oleh MK dalam putusan No. 005/PUU-IV/2006.
Merespon hal tersebut, Direktur Esekutif Pusat Advokasi dan Studi Konstitusi Demokrasi (PASKODE), Harmoko M. Said membagi kiat-kiat agar MK kembali bermartabat dengan menjaga integritas hakim MK.
Menurut Harmoko M. Said ada dua cara untuk mengembalikan integritas hakim MK dan martabat MK secara kelembagaan. Dua cara tersebut sebagai berikut:
1. Mendorong untuk memperkuat pengawas etik hakim MK yang bersifat eksternal, sebagaimana Komisi Yudisial terhadap Hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung.
2. Merekonstruksi kembali syarat menjadi hakim konstitusi salah satunya negarawan.
"Kenegarawanan dijamin dengan hakim sudah selesai dengan dirinya dalam hal orientasi pada kepentingan harta dan jabatan lembaga negara lain setelah tidak lagi menjadi hakim konstitusi," kata Harmoko, Rabu, 8 November 2023.
Lanjutnya, apabila masih punya orientasi untuk menduduki jabatan di lembaga negara lain setelah tidak lagi menjadi hakim konstitusi, maka ada potensi konflik kepentingan.
Tegasnya, dalam waktu sekurang-kurangnya selama 5 tahun pasca tidak menjabat sebagai hakim konstitusi, seseorang baru dapat menduduki jabatan baru di lembaga negara lain.***