Israel Minta Sumbangan untuk Danai Perang di Gaza, Mulai Bangkrut?

Israel menerima sumbangan dari masyarakat untuk mendukung perang

AP Photo/Erik Marmor
Tentara Israel berada di sebelah tank dekat perbatasan Israel Gaza, Israel, Rabu, (11/10/2023).
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kementerian Keuangan Israel telah mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pemerintah untuk menerima sumbangan dari masyarakat untuk mendukung perang. Pedoman ini memperbolehkan individu swasta dan yayasan filantropi memberikan dana langsung kepada pemerintah.

Menurut laporan Haaretz, dokumen tersebut dikeluarkan bulan lalu dan didasarkan pada proposal yang dirancang oleh Kementerian Keuangan dalam beberapa tahun terakhir tetapi belum diadopsi.  Untuk saat ini, pedoman tersebut akan berlaku hingga akhir tahun.

“Pemerintah diperbolehkan untuk memperpanjang masa berlakunya," ujar Kementerian Keuangan Israel.

Meski membuka pintu atas sumbangan masyarakat, kebijakan baru ini melarang sumbangan yang mungkin mempengaruhi prioritas pemerintah atau Kementerian Keuangan. Namun, sumber di Kementerian Kesejahteraan dan Pendidikan mengatakan, pembatasan ini tidak realistis.

“Pada dasarnya, setiap donasi mengubah prioritas yang ditentukan oleh kementerian pemerintah,” kata salah satu donatur.

Dokumen tersebut juga menentukan jumlah donasi maksimum sebesar 94 ribu dolar untuk organisasi bisnis dan 130 ribu dolar AS untuk organisasi nirlaba. Namun, Kementerian Keuangan telah memasukkan celah yang memungkinkan persetujuan sumbangan yang lebih besar juga.

“Karena perang, ada peluang untuk memberikan pengaruh yang tidak pantas terhadap pegawai negeri di sini,” kata seorang sumber di salah satu Kementerian.

Sumber lain mengatakan, seharusnya tidak dapat diterima jika sebuah negara dengan anggaran pemerintah yang besar meminta sumbangan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat dan harus dibiayainya. "Masalahnya bukanlah uang itu adalah prioritas pemerintah," ujarnya.

Pedoman Kementerian Keuangan menyerukan agar semua sumbangan dari entitas negara asing dilaporkan. Menurut direktur lembaga pemikir kebijakan Adva Center, Prof. Yossi Dahan menjelaskan, masalah muncul ketika sebuah negara berdaulat membutuhkan sumbangan dari individu dan korporasi untuk menjalankan fungsi dasarnya dan menjaga kesejahteraan warganya.

"Jalur ini memungkinkan lembaga non-pemerintah untuk melakukan intervensi dalam menentukan prioritas [pemerintah]. Komunitas Arab, misalnya, kemungkinan besar tidak akan mendapat manfaat dari sumbangan ini. Dampaknya bisa berupa peningkatan ketimpangan," ujarnya.

Baca Juga


 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler