Saat Dunia Serukan Gencatan Senjata di Gaza, Israel Akui Tengah Gelar Operasi Nakba Kedua

Benjamin Netanyahu menegaskan tidak akan ada gencatan senjata di Gaza.

AP Photo/Fatima Shbair
Warga Palestina berduka atas kematian kerabatnya dalam pemboman Israel di Jalur Gaza, di rumah sakit di Khan Younis, Sabtu, (11/11/2023).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, jurnalis Republika.


Lebih dari 10 ribu warga Palestina terbunuh dalam sebulan terakhir akibat bombardir serangan udara dan invasi jalur darat Angkatan Bersenjata Israel (IDF). Pasukan IDF seperti membabi buta di Gaza. Semua yang dicurigai terkait Hamas dibom tanpa mempedulikan tekanan dunia Internasional yang mengingatkan adanya potensi terjadinya kejahatan perang di mana warga sipil dibunuh, sementara beragam infrastruktur sipil mulai dari rumah; sekolah; universitas; tempat ibadah; hingga rumah sakit diluluhlantahkan rata dengan tanah.

Belum ada tanda-tanda akan adanya gencatan senjata. Yang ada malah makin arogannya rezim Zionis yang dipimpin Banjamin Netanyahu dan disokong oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Komentar-komentar para pejabat-pejabat setingkat menteri Israel merefleksikan akan adanya jaminan total impunitas atas kejahatan perang yang telah mereka lakoni di Gaza.

Dalam konferensi pers terbarunya di Tel Aviv, pada Sabtu (11/11/2023), Netanyahu menegaskan, dirinya menolak desakan gencatan senjata. Netanyahu pun menimpali kritik dari Presiden Prancis, Emmanuel Macron atas aksi IDF membunuh warga sipil di Gaza, sebagai suatu kesalahan.

"Dia (Macron) membuat kesalahan serius, secara faktual dan moral. Adalah Hamas yang mencegah evakuasi warga sipil, bukan Israel," kata Netanyahu.

Bibi menegaskan, perang akan terus berlanjut sampai Hamas berhasil dilenyapkan sepenuhnya dari Gaza. Seusai perang, kata Netanyahu, Israel tidak akan mengokupasi Gaza, tapi akan mengontrol penuh keamanan Gaza demi terciptanya jaminan keamanan bagi negara Israel.

Jika Netanyahu kerap berbicara dengan langgam politik yang terkesan lebih beradab, pernyataan-pernyataan yang keluar dari mulut menteri-menterinya bak menyingkap niat jahat Zionis yang sesungguhnya, yakni melenyapkan bukan hanya Hamas, tapi bangsa Palestina dari tanah mereka. Ibarat peribahasa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Sekali operasi membasmi Hamas, tragedi Nakba kedua pun terealisasi.

Pekan lalu contohnya, Menteri Kebudayaan Israel Amihay Eliyahu lewat wawancaranya dengan sebuah radio menyatakan, penggunaan bom nuklir menjadi salah satu opsi yang mungkin digunakan di Gaza. Betapa 'offside'-nya komentar Eliyahu, namun ia kemudian hanya disanksi tak bisa ikut rapat-rapat kabinet untuk sementara, tidak dipecat oleh Netanyahu.

Jika pernyataan Eliyahu tidak cukup mencengangkan dalam konteks hak asasi manusia, mari kita simak opini dari Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir dalam wawancaranya dengan stasiun televisi Israel, pekan ini.

"Saya jelaskan, saat kita berbicara Hamas harus dihancurkan, itu juga berarti mereka yang merayakan, mereka yang mendukung dan mereka yang memberikan bantuan, mereka semua adalah teroris dan mereka juga harus dihancurkan!"

Dalam kesempatan lain, Gvir merujuk Gaza. "Apa yang kita butuhkan adalah pendudukan, karena setiap saat musuh kita kehilangan wilayahnya, mereka kalah dalam perang. Kita harus memiliki kontrol penuh, itu akan membuat musuh kita jera dan biarkan mereka mengetahui bahwa kita memenangkan peperangan."

Yang paling 'jujur' soal niat jahat Zionis sejauh ini adalah Menteri Pertanian Israel Avi Dichter. Berbicara sama seperti Ben Gvir dalam bahasa Ibrani, potongan wawancara Dichter di salah satu stasiun televisi Israel kemudian viral di media sosial X.

"Kita saat ini sebenarnya tengah melancarkan (operasi) Gaza Nakba," kata Dichter.

 

Komunike Liga Arab-OKI

Pada akhir pekan lalu, Sabtu (11/11/2023), pemimpin dari negara-negara muslim di dunia berkumpul di Riyadh, Arab Saudi dalam tajuk Riyadh Summit. Awalnya, Riyadh Summit diselenggarakan hanya sebagai sarana pertemuan pemimpin dari 22 negara Liga Arab, namun kemudian, 57 pemimpin dari negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga diundang menyusul eskalasi perang di Gaza yang semakin sengit.

Riyadh Summit menghasilkan komunike yang mengutuk, "Agresi Israel di Jalur Gaza, kejahatan perang dan pembantaian barbar tak berprikemanusiaan oleh pemerintah pendudukan."

Riyadh Summit mendesak segera diakhirinya perang di Gaza dan menolak justifikasi aksi Israel terhadap warga Palestina sebagai bentuk pembelaan diri. Para pemimpin negara muslim, juga meminta diakhirinya blokade di Gaza demi mempersilakan bantuan kemanusian masuk dan penundaan ekspor senjata ke Israel. Para pemimpin Liga Arab dan OKI juga menuntut resolusi Riyadh Summit diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresi di Gaza.

Kala militer Israel semakin barbar di Gaza, sangat mengecewakan, resolusi dari pertemuan Riyadh Summit sebatas kutukan dan desakan hasil rangkaian kalimat-kalimat kabur yang tak lugas. Komunike Liga Arab dan OKI bahkan tidak memerinci mekanisme apa yang akan mereka tempuh demi tercapainya gencatan senjata dan koridor kemanusiaan di Gaza.

Bayangkan misalnya jika Riyadh Summit berani mengambil keputusan bersama secara ekstrem, misalnya dengan memboikot ekspor minyak dari negara-negara anggota ke Israel, AS, dan sekutu di dunia Barat lainnya. Atau pemutusan sementara hubungan dipolomatik negara-negara yang sebelumnya telanjur menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv, Riyadh Summit pastinya tidak dianggap oleh Israel dan sekutunya sekadar temu formalitas antarpemimpin negara muslim. 

Sehingga, perang Israel-Hamas di Gaza sepertinya masih akan berlangsung lama. Semakin bertambah jumlah korban jiwa, semakin terusir warga Palestina dari tanah airnya. Apakah memang ini adalah tragedi Nakba kedua?

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler