Ricuh di Konser Coldplay dan BMTH, Apa Kata Pengamat Musik?
Kericuhan terjadi di luar venue konser Coldplay pada Rabu (15/11/2023) malam.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Kamis (16/11/2023), kata "promotor" sempat menjadi trending topic di X. Penyebabnya tak lain peristiwa kericuhan saat konser Bring Me The Horizon (BMTH) pada 10 November lalu. Ditambah lagi chaos yang terjadi di luar venue konser Coldplay pada 15 November. Ada penonton yang tidak bisa masuk ke area konser Coldplay karena tiket tidak bisa di-scan dan jebolnya beberapa gate di GBK, Jakarta.
Kekacauan di konser dua band besar di Jakarta menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya bagaimana persiapan promotor ketika mendatangkan musisi dunia ke Indonesia? Pengamat musik Buddy Ace mengatakan, kericuhan yang terjadi saat konser BMTH dan Coldplay memiliki konteks yang berbeda. Konser BMTH ricuh karena band tersebut menghentikan penampilan saat konser baru setengah jalan. Akar masalahnya ada di sound system yang mati.
“Banyak faktor penyebab sound system mati. Yang paling utama penyebabnya adalah listrik padam. Di era sekarang, menggunakan genset listrik, kendala ini bisa diabaikan. Berarti ada kendala lain. Misalnya, genset sebagai sumber listrik nyala, seperti yang kita lihat dalam video, penyelenggara masih bisa bicara menggunakan microphone dan lampu nyala,” kata Buddy kepada Republika.co.id, Kamis (16/11/2023).
Vokalis BMTH Oliver Skyes mengatakan, penyebab mereka tak melanjutkan konser lantaran panggung yang terasa sangat "bergoyang". Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait faktor keselamatan. Untuk itu, konser terpaksa dihentikan, dan dibatalkan pada hari kedua.
Sementara itu, Coldplay merupakan superstar dengan standar internasional. Konsekuensi produksi, promosi, dan penampilan band harus sesuai dengan standar internasional. Membawa Coldplay ke Indonesia bernilai miliaran rupiah. Oleh karena itu, penyelenggara dan pihak terkait sudah memperhitungkan konsekuensi jauh sebelum konser digelar.
Meski begitu, ini tidak membuat hal di luar kendali tidak terjadi. Buddy menyoroti kasus penipuan sebesar Rp 15 miliar yang viral di media sosial. Menurut dia, kasus ini murni cyber crime yang terjadi di luar kendali manajemen.
Sementara itu, soal scanner yang membaca “sudah digunakan” padahal penontonnya baru masuk dan melakukan scan, bisa saja ini merupakan bagian dari rangkaian penipuan saat membeli tiket. “Artinya, mereka membeli tiket bodong.
Pelakunya memanfaatkan nomor tiket resmi yang sudah terjual, tapi dijual kembali seakan-akan belum terbeli. Bagaimana mekanismenya, pasti polisi cyber crime sudah mengetahuj modus operandinya,” ucapnya.
Bagi penyelenggara, ada beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya saat mendatangkan artis berskala besar dan melibatkan puluhan ribu penonton. Di era sekarang, cyber crime sedang marak yang memanfaatkan gelombang antusiasme penonton.
Berkaca pada konser Coldplay, Buddy menyarankan agar penyelenggara bisa menyiapkan satu ruang atau satu pintu masuk untuk menampung penonton yang bermasalah. “Bermasalah dalam hal ini adalah mereka yang tiketnya tidak ada saat di-scan tapi mereka bisa menunjukkan bukti melalui ponsel, men-capture hasil transaksi yang mereka lalukan secara online. Mereka sah melakukan transaksi secara daring tapi tidak memiliki tiket karena berbagai macam penipuan,” kata dia.
Penyelenggara wajib menampung mereka dengan menyiapkan sebuah tempat transit sebelum mereka masuk. Ketika masalah sudah selesai bahwa mereka memang membeli tiket tapi ada kendala teknis atau penipuan, penyelenggara wajib memberikan ruang khusus agar mereka masih bisa menonton konser.
“Artinya, kalau mereka membeli tiket VIP, festival, dan berbagai kategori lain, mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka menonton tapi tidak pada tempat semestinya karena ada kendala teknis tadi. Kalau ternyata mereka memang pemilik tiket, ada bukti, mereka bisa langsung diarahkan ke nomor kursi,” ucapnya.