Bengkel Hijrah Iklim 2.0 akan Digelar Awal Desember 2023 di Salatiga
Setidaknya terdapat lima kurikulum yang diberikan saat penyelenggaraan BHI.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Setelah sukses pada penyelenggaraan pertama, Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) akan kembali menggelar Bengkel Hijrah Iklim (BHI) 2.0 atau jilid kedua pada 4-9 Desember 2023 mendatang di Salatiga, Jawa Tengah. Sama seperti penyelenggaraan pertama yang berlangsung di Bogor, acara di Salatiga nanti juga menargetkan peserta sebanyak 20 orang.
Sejumlah narasumber yang akan dihadirkan pada event tersebut di antaranya adalah Rubby Emir (AktivAsia), Rara Salsabila (aktivis), Gus A’ak (LPBI NU), M Rifandi (MLH Muhammadiyah), Kholida Anissa (IPM & Alumni BHI), serta Aldy Permana (Purpose).
"Bengkel Hijrah Iklim adalah salah satu inisiatif dari MOSAIC yang bertujuan memberdayakan dan menyiapkan anak muda Islam untuk menjadi pemimpin dalam solusi iklim di Indonesia," ujar Project Lead Bengkel Hijrah Iklim, Aldy Permana, di sela-sela acara Media Briefing - Bengkel Hijrah Iklim yang mengangkat tema ‘Anak Muda dan Aksi Perubahan Iklim di Akar Rumput’ di Yogyakarta, Selasa (21/11/2023).
Aldy mengatakan, pendekatan keagamaan dirasa penting dikarenakan terdapat survei yang dilakukan Purpose yang menemukan bahwa mayoritas anak muda menyatakan bahwa agama merupakan hal yang penting bagi mereka. "Sebanyak 92 persen anak muda perkotaan menyatakan bahwa agama penting bagi mereka," papar Aldy mengawali presentasinya.
Setidaknya terdapat lima kurikulum yang diberikan saat penyelenggaraan BHI di antaranya kekuasaan dan non-violence, strategi kampanye, pengorganisasian komunitas, strategi komunikasi publik, serta krisis iklim. Kurikulum ini dikembangkan bersama oleh AktivAsia, Purpose, serta Pesantren Ekologis Miskyat Al-Anwar.
Tahapan dari event BIH ini, kata Aldy, yakni MOSAIC memberikan program pelatihan, melakukan coaching dan mentoring, serta implementasi pilot project. “Waktu itu (penyelenggaran di Bogor), ada lima alumni BHI yang proyeknya kami danai serta kami berikan coaching and mentoring," ujar Aldy. Kelimanya adalah My Green Leaders, Salawaku Movement, Shankara Tani, Penanaman Mangrove, dan Sadari Bumi.
Ketua Bidang Lingkungan Hidup di Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Kholida Annisa, pun menceritakan proyeknya yang didanai MOSAIC yaitu My Green Leaders pada acara Media Briefing di hadapan para wartawan. Youth Movement for Green Leaders adalah sebuah gerakan pemuda yang berkomitmen untuk memperjuangkan keadilan sosial-ekologis di Indonesia.
"Kami percaya bahwa isu lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari isu sosial, dan kedua isu ini harus menjadi prioritas utama bagi pemimpin Indonesia nantinya," kata perempuan yang akrab dipanggil Lida ini.
Kegiatan-kegiatan yang ada di Green Leaders ini di antaranya adalah Future Green Leader Camp, Coaching & Mentoring, Deklarasi Pemimpin Pro-Lingkungan, Pawai Budaya untuk Iklim, Aksi Pelajar untuk Iklim, Training of Trainer, serta Launching Buku ‘Menjadi Pemimpin Pembela Lingkungan’.
Lida pun mengeklaim tidak mudah untuk menyebarkan gagasan mengenai perubahan iklim di kalangan anak muda. Hal tersebut dikarenakan meskipun terdapat survei yang menyatakan bahwa anak muda adalah kalangan yang paling tinggi kepeduliannya terhadap iklim, banyak di kalangan anak-anak muda tersebut yang tidak tahu harus berbuat apa.
Ia pun menceritakan salah satu cara untuk menyampaikan gagasannya adalah dengan cara melalui pendekatan emosional. "Karena jika lingkungan di masa depan ini rusak maka yang paling merasakan adalah anak muda," kata Lida.
Sementara itu, alumni BHI 1.0 yang lain, Koordinator Program di Serikat Perempuan Kinasih & Salawaktu Movement, Aniati Tokomadoran, menceritakan pengalamannya melakukan advokasi iklim di kalangan pesantren dan masyarakat pedesaan. Ia juga mengungkapkan bahwa memunculkan kesadaran di kalangan tersebut juga tak kalah sulitnya.
"Dalam beberapa kesempatan mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sudah merupakan bagian dari mitigasi iklim. Dari situ saya jadi menyadari bahwa isu krisis iklim ini terlihat eksklusif dan memakai bahasa yang terlalu tinggi, sehingga sulit diterima oleh masyarakat desa,” kata perempuan yang akrab dipanggil Ani tersebut.
Peneliti Departemen Sosiologi dan Pusat Kajian Kepemudaan Fisipol UGM, Ragil Wibawanto, menyampaikan memang terdapat sejumlah tantangan dalam melakukan sosialisasi perubahan iklim di antaranya adalah sulitnya melibatkan generasi yang lebih senior mengingat mereka memiliki cara pandang tersendiri yang sangat berbeda dari generasi muda yang berusia di bawahnya. "Oleh karena itu keluarga saya kira menjadi lembaga sosial yang penting dalam isu ini," kata Ragil.
Selain itu, Ragil memaparkan bagaimana pengenalan isu lingkungan di ranah pendidikan masih dalam tahap sosialisasi. Sedangkan implementasi program dari pemerintah masih jauh dari kondisi ideal. "Masih terdapat gap dalam pengenalan isu lingkungan di ranah pendidikan yang perlu dikontekstualisasikan," kata alumnus Australian National University (ANU) Australia itu.