Mengapa Uji Coba Pelepasan Nyamuk Ber-Wolbachia Jadi Perdebatan?
Bakteri Wolbachia secara alami terdapat di ngengat, lalat, capung, dan kupu-kupu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Adi Utarini menjelaskan penelitian inovasi nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia di Indonesia dilakukan sebanyak empat fase. Penelitian menggunakan pendekatan berjangka panjang dalam kurun 2011--2023.
"Penelitiannya kami lakukan secara bertahap dan tahapan ini menunjukkan kehati-hatian dalam melakukan teknologi ini dan berjangka panjang," kata peneliti sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Prof Adi Utarini dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa (28/11/2023).
Profesor Utari mengatakan, fase pertama meliputi aspek keamanan dan kelayakan. Ini dilakukan dengan cara membangun laboratorium untuk meneliti Aedes Aegypti yang sudah mengandung bakteri Wolbachia di dalam selnya kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk di Yogyakarta.
Pada tahap kedua, peneliti memulai pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di masyarakat. Ini dilakukan dalam skala terbatas di wilayah dusun, yakni Sleman dan dua dusun di Bantul, untuk memperoleh kelaikan etik.
"Karena ini penelitian, kami harus memperoleh kelaikan etik dan kami berkewajiban mampu mendeteksi suspek dengue di masyarakat," kata Prof Utari yang biasa disapa Uut.
Fase ketiga, lanjut Uut, merupakan tahapan yang paling penting. Ini merupakan fase untuk memberi pembuktian seberapa banyak nyamuk ber-Wolbachia bisa menurunkan kasus dengue.
"Kami sadari ini membutuhkan kehati-hatian lebih tinggi karena menyangkut skala lebih luas," katanya.
Pada fase yang berlangsung pada 2016 tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melibatkan 24 pakar independen dari berbagai bidang keilmuan. Peneliti yang dimaksud di antaranya Prof Ir Damayanti Buchori, MSc, PhD selaku Ketua tim inti dari Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof dr Hari Kusnanto Joseph, SU, DrPH dari Fakultas Kedokteran UGM.
Prof drh Upik Kesumawati Hadi, MS dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Prof Dr dr Aryati, SpPK(K) dari Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Prof dr Irawan Yusuf, MSc, PhD, dari Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, dan Teguh Triono, PhD dari Lembaga Keanekaragaman Hayati (Kehati). Hasilnya, seluruh potensi risiko jangka panjang dari inovasi nyamuk ber-Wolbachia dapat diabaikan.
Usai dinyatakan berhasil di fase tiga, penelitian berlanjut pada fase akhir berupa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dalam skala luas di Kota Yogyakarta, meliputi Sleman dan Bantul. Pada fase akhir, menurut Uut, penelitian tersebut berhasil memperoleh rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) untuk menuju jenjang uji coba pelepasan nyamuk yang lebih luas lagi di Indonesia.
Sementara itu, penelitian Wolbachia yang dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis UGM membuktikan penurunan 77,1 persen kasus dengue dan penurunan 86,2 persen rawat inap di Yogyakarta. Atas dasar penelitian ilmiah dan hasil yang menjanjikan itu, Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue melalui Wolbachia.
Ini menjadi salah satu inovasi strategi pengendalian yang telah masuk dalam strategi nasional (stranas) sebagai inovasi penanggulangan dengue yang dilaksanakan di lima kota, yaitu Semarang (Jawa Tengah), Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Bontang (Kalimantan Timur). Kemenkes menggelontorkan dana senilai Rp16 miliar untuk implementasi uji coba inovasi nyamuk ber-Wolbachia.
Uut mengemukakan inovasi nyamuk ber-Wolbachia efektif menekan replikasi virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti saat populasinya mencapai 60 persen di satu kawasan. Hasil penelitiannya telah dimuat di New England Journal of Medicine pada 2021.
"Ketika sudah mencapai 60 persen, mereka akan berkembang biak secara alami," kata Uut.
Metode pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dilakukan secara bertahap menggunakan ember yang di dalamnya diisi dengan telur nyamuk Aedes aegypti. Setiap ember diletakkan di setiap rumah berjarak sekitar 75 meter dari satu rumah ke rumah yang lain. Kemudian, setiap dua pekan telur nyamuk yang ada di ember diganti airnya.
"Dengan demikian selama enam bulan nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia akan menyebar di masyarakat," kata Uut.
Ketika populasi nyamuk ber-Wolbachia sudah mencapai populasi 60 persen, lanjut Uut, nyamuk tersebut akan berkembang biak secara alami. Terdapat tiga transmisi Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti.
Pertama, transmisi terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia, sehingga penetasan telur menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia.
Kedua, transmisi terjadi saat nyamuk jantan tak ber-Wolbachia kawin dengan betina ber-Wolbachia, sehingga tetasan telur menghasilkan nyamuk ber-wolbachia.
Ketiga, transmisi terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tidak ber-Wolbachia sehingga telur tidak akan menetas.
Bakteri Wolbachia dianggap mampu membendung penularan virus dengue karena memiliki kemampuan berkompetisi makanan antara virus dan bakteri di dalam sel nyamuk. Dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus dengue tidak dapat berkembang biak.
"Ketika sudah mencapai 60 persen, ember itu kita tarik dan pelepasan kita hentikan, dan nyamuknya berkembang biak secara alami dengan nyamuk di alam dan terus bereplikasi di alam," jelas Uut.
Wolbachia adalah bakteri yang terdapat dalam tubuh serangga. Sebanyak 60 persen bakteri tersebut ada di jenis serangga seperti ngengat, lalat, capung, dan kupu-kupu.
Uji Coba Wolbachia di Negara Lain
CEO World Mosquito Program (WMP) Scott O'Neill mengemukakan inovasi nyamuk Aedes aygepty ber-Wolbachia terbukti secara ilmiah mampu memproteksi 11,2 juta orang di 13 negara dari penyakit demam berdarah atau dengue. WMP adalah inisiatif nirlaba di bawah naungan Universitas Monash, Australia yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dunia dari penyakit yang disebabkan oleh nyamuk seperti dengue, chikungunya, Zika, dan demam kuning.
O'Neill mengatakan penelitian nyamuk Wolbachia dalam menekan replikasi virus dengue dilakukan di sejumlah negara bagian Amerika Latin, negara lingkar Pasifik, dan kawasan Asia.
"Asia di Srilanka, Vietnam, Laos, dan Indonesia. Yang banyak di Amerika Latin," katanya saat hadir secara virtual dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI membahas inovasi Wolbachia diikuti dalam jaringan di Jakarta, Selasa.
Penelitian perdana dilakukan WMP di utara Australia, tepatnya Townsville pada luas lahan 300 km persegi tahun 2011-2017. Hasilnya, wilayah berpopulasi 325.000 jiwa itu seluruhnya terlindungi dari penyakit dengue.
"Selama kurun waktu itu, transmisi dengue berhasil dieliminasi secara total," katanya.
O'Neill mengatakan hasil yang sama juga dilaporkan di lima kota di Brasil, di antaranya Belo Horizonte, Rio, dan Niteroi melalui kemitraan selama 10 tahun dengan pemerintah setempat. Dampak penyebaran nyamuk ber-Wolbachia yang terlihat di Brasil sejak 2017--2020 berhasil menekan kesakitan dengue hingga mendekati nol kasus setelah sejak 2007 dan 2013 mengalami fluktuasi kasus.
Dari hasil positif tersebut, lanjut O'Neill, Pemerintah Brasil menempuh kerja sama tingkat lanjut dengan membangun Mosquito Mass Production Facility (MMPF) berkapasitas produksi 100 juta nyamuk per pekan. Itu dilakukan karena program akan diadopsi untuk seluruh wilayah Brasil.
Pada uji coba Wolbachia di Kolombia selama kurun 2015--2022, WMP mengeklaim berhasil melindungi 4,5 juta penduduk yang berdomisili pada lahan seluas 182 km persegi di empat kota, di antaranya Medellin, Bello, dan Itagui. Di sana terlihat dampaknya penurunan kasus dengue sebesar 95--97 persen sejak nyamuk ber-Wolbachia disebarkan pada 2017.
Pada uji coba di Kaledonia Baru kurun 2019--2023, lanjut O'Neill, nyamuk ber-Wolbachia berhasil mengeliminasi dengue dan memproteksi sekitar 150 ribu penduduk yang tersebar pada lahan seluas 144 km per segi. Keberhasilan yang sama juga dilaporkan WMP dari negara uji coba di Srilanka, yakni di dua distrik Colombo.
Wolbachia Masih Diperdebatkan
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barta, dr Eka Mulyana, menjelaskan intervensi kasus demam berdarah dengan nyamuk ber-Wolbachia ini bukan sesuatu hal yang baru di dunia kesehatan. Penelitiannya sudah berlangsung sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.
"Ini sebetulnya teknologi inovasi bukan yang baru, karena dari 10 tahun yang lalu juga sudah diperkenalkan. Cuma penelitiannya memang terus berlangsung, belum tuntas," ujar dr Eka, Rabu (29/11/2023).
Mengingat belum tuntasnya penelitian, lanjut dr Eka, sampai saat ini nyamuk ber-Wolbachia masih jadi perdebatan bagi para ilmuwan di dunia kedokteran. Sebagian ilmuwan menyoroti kemungkinan dampak samping inovasi tersebut, baik terhadap lingkungan vektor virus dengue, nyamuk Aedes aegypti, maupun terhadap manusia.
"Jadi kenapa masih diperdebatkan, karena belum tuntas betul penelitiannya sehingga dulu oleh menkes 10 tahun yang lalu, memang belum dibolehkan dan kalau pun sekarang sudah dibolehkan oleh Pak Menkes, tentunya saja ini perlu monitoring yang ketat," katanya.