Perusahaan Minyak dan Gas akan Hadapi Masalah Krusial di COP28
Industri minyak dan gas akan hadapi 'moment of truth' di COP28.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan-perusahaan minyak dan gas akan menghadapi pilihan krusial dalam KTT Iklim PBB ke-28 atau Conference of the Parties (COP28) . Pasalnya, masa depan bahan bakar fosil yang memainkan peran besar dalam perubahan iklim akan menjadi inti dari negosiasi COP28 di Dubai, saat dunia berjuang untuk memenuhi tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius.
“Industri minyak dan gas menghadapi moment of truth di COP28 di Dubai," kata Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA) Fatih Birol menjelang konferensi yang akan berlangsung pada tanggal 30 November hingga 12 Desember ini.
“Dengan dunia yang menderita dampak dari krisis iklim yang memburuk, melanjutkan bisnis seperti biasa tidak bertanggung jawab secara sosial maupun lingkungan," kata Fatih Birol seperti dilansir The Arab Weekly, Rabu (29/11/2023).
Dalam sebuah laporan, IEA menyatakan bahwa keterlibatan industri minyak dan gas dalam mengatasi masalah iklim masih sangat minim, dengan hanya menyumbang kurang dari 1 persen dari investasi energi bersih global. Perusahaan minyak dan gas menginvestasikan 20 miliar dolar AS untuk energi bersih tahun lalu, atau hanya 2,7 persen dari total belanja modalnya.
Untuk memenuhi target 1,5 derajat Celsius Perjanjian Paris, sektor minyak dan gas harus mencurahkan 50 persen investasinya untuk proyek-proyek energi bersih pada tahun 2030. Sebagai perbandingan, 800 miliar dolar AS diinvestasikan di sektor minyak dan gas setiap tahunnya.
Meskipun investasi dalam pasokan minyak dan gas masih diperlukan, angka tersebut dua kali lebih tinggi dari yang seharusnya dikeluarkan untuk memenuhi target Perjanjian Paris.
"Para produsen harus memilih antara berkontribusi pada krisis iklim yang semakin parah atau menjadi bagian dari solusi dengan merangkul peralihan ke energi bersih," kata IEA.
Laporan IEA juga mengungkap bahwa penggunaan minyak dan gas akan turun sebesar 75 persen pada tahun 2050, jika pemerintah berhasil mencapai target 1,5 derajat Celsius dan emisi dari sektor energi mencapai nol pada saat itu.
Alih-alih mengurangi bahan bakar fosil secara langsung, perusahaan-perusahaan minyak raksasa telah memamerkan beberapa teknologi yang dulunya marginal sebagai solusi yang menjanjikan untuk mengurangi emisi. Teknologi-teknologi tersebut termasuk penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS), direct air capture (DAC), dan perdagangan kredit karbon.
CCS mencegah CO2 memasuki atmosfer dengan menyedot gas buang dari pembangkit listrik, sementara DAC menangkap CO2 secara langsung dari udara. Kedua teknologi tersebut telah terbukti berhasil, namun masih jauh dari kematangan dan skalabilitas komersial.
"Industri ini perlu berkomitmen untuk benar-benar membantu dunia memenuhi kebutuhan energi dan tujuan iklimnya, yang berarti melepaskan ilusi bahwa penangkapan karbon dalam jumlah yang sangat besar adalah solusinya," kata Birol.
Lembaga think tank Carbon Tracker mengatakan bahwa komitmen pengurangan emisi sektor minyak dan gas telah terhenti dan dalam beberapa kasus mengalami kemunduran. Perusahaan minyak BP menurunkan target pengurangan produksi tahun 2030 dan Shell mengatakan bahwa produksi "liquid" mereka akan tetap stabil, yang membuat para pegiat iklim marah.
Di sisi lain, para pegiat iklim telah menyuarakan keprihatinan atas pengaruh kepentingan bahan bakar fosil di konferensi iklim PBB atau COP28. Pasalnya, presiden COP28 yang ditunjuk, yaitu Sultan Al Jaber juga menjabat sebagai kepala perusahaan minyak milik Uni Emirat Arab, ADNOC.