Perang di Gaza dan Tuduhan Penggunaan Tameng Manusia

Tameng manusia dianggap sebagai kejahatan perang serta pelanggaran hukum humaniter

EPA-EFE/ATEF SAFADI
Tentara Israel dengan kendaraan tempur lapis baja mereka berkumpul di posisi dekat perbatasan dengan Jalur Gaza, di Israel selatan, (2/12/2023).
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Militer Israel menuduh kelompok perlawanan Palestina, Hamas menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia di Gaza. Hamas dengan tegas menolak tuduhan Israel tersebut. Justru Israel yang berkali-kali terbukti menggunakan warga sipil bahkan anak-anak sebagai perisai manusia.

Berdasarkan hukum internasional, istilah perisai manusia mengacu pada warga sipil atau orang lain yang dilindungi, yang kehadirannya digunakan untuk menjadikan sasaran dari operasi militer. Penggunaan perisai manusia dilarang oleh Protokol I Konvensi Jenewa dan dianggap sebagai kejahatan perang serta pelanggaran hukum humaniter.

Ada tiga jenis perisai manusia, pertama, perisai sukarela yaitu orang-orang yang dengan sengaja memilih untuk berdiri di depan sasaran yang sah sebagai sarana perlindungan. Kedua, Perisai yang tidak disengaja, yaitu orang-orang yang secara paksa dikerahkan sebagai alat tawar-menawar atau sebagai alat untuk menggagalkan serangan. Ketiga, perisai terdekat, yaitu warga sipil atau lokasi sipil yang menjadi tameng atau dijadikan tameng karena dekat dengan pertempuran.

Setelah Israel menginstruksikan 1,1 juta warga Palestina di Gaza utara untuk pindah ke selatan, keluarga koresponden Aljazirah, Youmna ElSayed menerima panggilan telepon dari tentara Israel yang memperingatkan untuk segera meninggalkan rumah mereka di Kota Gaza.  Mereka memutuskan bahwa terlalu berisiko untuk melakukan perjalanan ke selatan di tengah pengeboman besar-besaran.

Neve Gordon, salah satu penulis Human Shields: A History of People in the Line of Fire, mengatakan, perintah evakuasi memberikan pihak yang bertikai, dalam hal ini Israel, kemampuan untuk memindahkan keluarga Palestina, seperti keluarga ElSayed dan seluruh penduduk Gaza utara sebagai perisai manusia terdekat.

“Secara sementara, perlindungan terdekat dapat bertahan jauh lebih lama dibandingkan dengan perlindungan sukarela atau tidak, karena dua perlindungan yang terakhir ini dibatasi pada waktu di mana warga sipil bertindak atau dipaksa bertindak sebagai perisai,” kata Gordon, dilaporkan Aljazirah.

Sebaliknya, perisai terdekat akan tetap ada selama pertempuran terus berlanjut.

Apa implikasi dari pelabelan warga sipil sebagai perisai manusia?
Gordon, yang mengajar hukum internasional di Queen Mary University of London mengatakan, label perisai manusia ini dapat digunakan oleh pihak yang bertikai untuk mengendurkan repertoar kekerasan yang diperbolehkan untuk digunakan di wilayah tersebut. Kehadiran perisai manusia tidak membuat suatu situs kebal dari serangan.  Meskipun mereka adalah orang-orang yang dilindungi berdasarkan hukum perang, aset militer yang mereka lindungi masih dapat dijadikan sasaran secara sah.

Jika mereka mati, tanggung jawab atas kematian mereka dilimpahkan pada pihak yang menggunakan mereka sebagai tameng manusia, bukan pada pihak yang membunuh mereka.  

"Oleh karena itu, di wilayah yang hanya terdapat perisai manusia dan kombatan, kekerasan yang lebih mematikan dapat digunakan,” kata Gordon.

Batasan tersebut ditentukan oleh prinsip pembedaan dan proporsionalitas. Tentara mempunyai kewajiban untuk hanya menargetkan musuh, meskipun hal ini berarti menghadapi risiko yang lebih besar untuk meminimalkan korban sipil. Termasuk untuk mempertimbangkan nilai militer dari setiap serangan terhadap korban sipil yang mungkin berjatuhan akibat perang.

Warga sipil non-tempur, meskipun digunakan sebagai tameng manusia, berhak atas perlindungan. Ketua hukum internasional dan studi konstitusional internasional di Universitas Cambridge, Marc Weller mengatakan, jika 1.000 orang berlindung di lokasi yang terbukti menyembunyikan kehadiran Hamas, Israel harus mengirim tentara untuk hanya menyerang aset musuh (prinsip pembedaan).  

Jika mereka memilih untuk mengebom kompleks tersebut dari udara, maka mereka harus mampu membuktikan keberadaan aset musuh dan berargumentasi bahwa hilangnya nyawa dalam pengeboman itu sebanding dengan keuntungan militer yang diperoleh (prinsip proporsionalitas). Mengeluarkan perintah evakuasi kepada 1,1 juta orang dan kemudian menjadikan seluruh penduduk sebagai target yang sah juga melanggar prinsip yang sama.

“Mengetuk sebuah gedung (untuk meminta penghuninya mengungsi) mungkin masuk akal, tetapi mengatakan kepada satu juta orang bahwa mereka semua harus keluar karena Anda mengebom semuanya adalah hal yang tidak masuk akal,” kata Weller.

“Israel tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk membedakan dengan mengusir warga sipil.  Hal ini menempatkan beban perlindungan pada korban, bukan pada penyerang," ujar Weller.

Bisakah Israel secara hukum menyerang rumah sakit jika digunakan untuk melindungi sasaran militer?

Baca Juga


Berdasarkan hukum humaniter, rumah sakit harus dilindungi. Namun status ini dapat hilang jika lokasi rumah sakit digunakan untuk tujuan militer.

“Undang-undang mengatakan rumah sakit dilindungi tetapi ada serangkaian pengecualian dimana diperbolehkan mengebom rumah sakit. Israel mengetahui pengecualian-pengecualian ini dan menganggap rumah sakit sebagai tempat di mana pengecualian-pengecualian tersebut berlaku," ujar Gordon.

Gordon dan rekan penulisnya Nicola Perugini menciptakan frasa hukum medis untuk menggambarkan gagasan menjadikan rumah sakit sebagai pelaksana misi yang berada di luar tugas kemanusiaan mereka, untuk membenarkan serangan terhadap rumah sakit. "Ini adalah strategi yang berulang kali dilakukan oleh militer dan pemerintah Israel untuk melegitimasi serangan terhadap infrastruktur yang menopang kehidupan dan menyelamatkan jiwa serta mengalihkan kesalahan ke pihak Palestina sendiri,” kata Gordon.

Dalam kasus Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, Israel mengklaim telah memberikan bukti bahwa pusat komando utama Hamas terletak di bawah gedung rumah sakit yang menampung setidaknya 5.000 pasien dan ribuan pengungsi lainnya. Seorang pejabat Hamas, Ezzat el-Reshiq, menyangkal tuduhan Israel bahwa Hamas menggunakan fasilitas rumah sakit sebagai tameng bagi militer.

Pengamat internasional termasuk dokter Norwegia, Mads Gilbert, yang bekerja di RS Al-Shifa selama 16 tahun, mengatakan, mereka tidak pernah menemukan indikasi adanya aktivitas militer di bawah rumah sakit tersebut.

Weller mencatat, meskipun aktivitas militer terbukti dan lokasi tersebut rentan terhadap serangan, maka pasien dan staf harus diberi kesempatan mengungsi. “Sekali lagi, hal ini tidak berarti bahwa semua warga sipil di dalamnya dihilangkan dari perlindungan hukum humaniter secara umum.  Masih harus ada perhitungan proporsionalitas dalam hal kerugian sipil dan keuntungan militer,” kata Weller.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler