Sosok Inspiratif Palestina, Wael Al-Dahdouh Jurnalis yang Terluka Lalu Kembali Bekerja

Wael bekerja siang malam meliput berita apa yang terjadi di Kota Gaza.

AP Photo/Mohammed Dahman
Koresponden Al Jazeera Wael Dahdouh menangisi jenazah kameramen, Samer Abu Daqqa, yang gugur akibat serangan Israel saat pemakamannya di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan. Sabtu, (16/12/2023).
Rep: Rahma Sulistya Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Serangan di Gaza Palestina belum juga berhenti. Dari ketangguhan warga Palestina dunia banyak belajar mengenai arti berjuang termasuk kegigihan kerja para jurnalis berdarah Palestina.

Salah satu jurnalis yang sedang menjadi sorotan adalah wartawan Aljazeera, Wael Al-Dahdouh. Ia dikenal sangat mendedikasikan hidupnya sebagai seorang pemberi kabar berita, khususnya mengenai keadaan terkini di Palestina.

Baca Juga


Beberapa hari lalu ia bersama sang camera person, Samer Abudaqa, diserang oleh Israel. Samer meninggal dunia, sementara Wael mengalami luka-luka di sekitar lengannya. Meskipun terluka, Samer seolah menganggap itu bukanlah hal berat untuk kembali bekerja mengingat rekannya sampai harus meregang nyawa.
 
Sesama akun jurnalis Palestina pun mengunggah dedikasi Wael yang begitu besar, hingga hatinya yang juga tak kalah besar. “Liputan tetap berlanjut di tengah kesakitan yang menyiksa,” tulis akun anak pertamanya @hamza_w_dahdouh dalam keterangan foto Wael yang diunggah di akun Instagram miliknya.
 
Tetapi, ini bukan pertama kalinya Wael menghadapi duka ditinggal orang terdekat, sejak genosida oleh Israel dilakukan terhadap Palestina. Pada awal November 2023 lalu, Wael menatap nanar saat berdiri di sebuah dinding Rumah Sakit Martir Al-Aqsa.
 
Ia harus mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya kepada istri, putra, putri, dan cucunya, yang baru saja terbunuh dalam serangan udara Israel yang menghantam rumah tempat mereka berlindung. Saat itu, giliran dirinya yang diwawancara oleh rekannya, setelah dia selalu banyak mewawancara orang yang kehilangan.
 
Air matanya tumpah ketika dia menyebut nama anaknya yang berusia tujuh tahun, Sham. Yang termuda adalah cucu Wael, Adam, yang berusia satu setengah tahun.
 
“Saudara dan sepupu saya juga ada di sana, dan putri saya semuanya terluka. Tetapi saya rasa, saya harus bersyukur kepada Tuhan bahwa setidaknya beberapa anggota keluarga saya selamat,” ucap Wael kala itu.
 
Rumah di mana keluarga Wael diserang bukanlah rumah mereka, karena rumah mereka berada di Tel el-Hawa, Kota Gaza, namun mereka harus meninggalkannya karena terlalu berbahaya.

Wael Al-Dahdouh - (Instagram)


 
Wael yang berusia 52 tahun, bekerja siang dan malam meliput berita tentang apa yang terjadi di Kota Gaza. Dia mengkhawatirkan keluarganya, dengan pemboman tanpa henti yang terjadi di utara Jalur Gaza.
 
Sehingga sang istri, Amna, dan anak-anaknya, sebagian bersama pasangan dan anak-anaknya, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga mereka berakhir di kamp pengungsi Nuseirat di selatan Wadi Gaza, bersama beberapa anggota keluarga lainnya.
 
Wael mengira mereka akan aman di sana karena berada dalam zona yang diminta Israel untuk dipindahkan oleh warga Palestina di Gaza. “Ini adalah momen yang sulit dalam kehidupan seorang jurnalis Palestina, ketika mereka meliput sebuah kejadian untuk dijadikan berita dan mengetahui bahwa berita tersebut adalah keluarga mereka sendiri,” ucap Wael lagi.
 
Wael dan Amna memiliki delapan anak yakni Hamzah (27), Bissan (25), Sundus (23), Khuloud (21), Batoul (18), Mahmoud (15), Yehia (12), dan Sham yang berusia tujuh tahun.
 
Hamzah dan Bissan tidak ada di dalam rumah, namun mereka bergegas menuju lokasi kejadian. Ibu mereka, Mahmoud, dan Sham telah tiada, Yehia terluka parah, dan saudara-saudara mereka yang lain terluka dalam tingkat yang berbeda-beda. Adam, keponakan mereka juga telah meninggal.
 
Dua tahun yang lalu, selama 11 hari pemboman Israel di Jalur Gaza, keluarga Wael selamat dari serangan terhadap sebuah rumah di sebelahnya. Dia mengatakan kepada Aljazeera+ Arab pada saat itu, bahwa keluarganya telah berpisah di antara beberapa rumah anggota keluarga dengan harapan bahwa beberapa dari mereka akan tetap hidup.
 
Dan itu adalah realitas kehidupan di Gaza sejak bertahun-tahun lamanya. Penderitaan hidup di Palestina bukan dimulai pada 7 Oktober 2023 saja, tetapi selalu dirasakan warga Palestina sejak 1948.
 


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler