PBB: Sepertiga Penduduk Myanmar Butuh Bantuan Kemanusiaan
Saat ini anak-anaklah yang paling menanggung beban krisis.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dengan menyoroti situasi kemanusiaan yang “suram” di Myanmar, seorang pejabat PBB pada Senin (18/12) mengatakan, sepertiga penduduk negara Asia tersebut membutuhkan bantuan kemanusiaan.
PBB bersama mitra kemanusiaannya telah merilis Rencana Kebutuhan Kemanusiaan dan Respons 2024 untuk Myanmar. Rencana tersebut mengulas gambaran suram situasi kemanusiaan di negara tersebut hingga tiga tahun setelah pengambilalihan kekuasaan oleh pihak militer.
“Sepertiga penduduk atau 18,6 juta orang, membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah ini satu juta lebih banyak dibanding tahun lalu dan hampir 19 kali lipat dari jumlah orang yang membutuhkan bantuan sebelum pengambilalihan militer,” kata juru bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric kepada awak media.
Menurut dia, saat ini anak-anak menanggung beban krisis. Dujarric menyebutkan pula bahwa sekitar enam juta di antaranya, membutuhkan bantuan karena harus mengungsi, layanan kesehatan dan pendidikan yang terganggu, kerawanan pangan dan malnutrisi serta risiko perlindungan.
Kaum perempuan, anak perempuan, penyandang disabilitas dan warga Rohingya “merupakan kelompok yang paling terdampak akibat lingkungan yang berbahaya ini,” katanya. Dalam menghadapi lonjakan kebutuhan, Dujarric menambahkan, lembaga-lembaga kemanusiaan telah memprioritaskan 5,3 juta orang supaya mendapatkan bantuan mendesak pada 2024, dan itu membutuhkan 994 juta dolar AS (sekitar Rp15,4 triliun),” katanya.
Pada 2017, militer Myanmar meluncurkan operasi kekerasan terhadap warga Rohingya di Negara Bagian Rakhine utara yang disebut sebagai genosida oleh kelompok-kelompok HAM. Hampir 1,2 juta warga Rohingya terpaksa mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, di mana mereka tinggal di kamp pengungsi penuh sesak selama bertahun-tahun.
Seusai kudeta Myanmar 2021 yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis, militer Myanmar melakukan “penindasan brutal massal” terhadap jutaan orang yang menentang pemerintahan mereka.