BMKG: Siklus Iklim Terkait dengan Merebaknya Demam Berdarah
Kondisi iklim juga menentukan daerah yang berisiko alami kasus DBD tinggi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyatakan bahwa siklus iklim sangat terkait dengan kasus atau merebaknya demam berdarah (DBD). Kondisi iklim ini secara keseluruhan juga menentukan daerah yang berisiko mengalami DBD.
“Secara umum, penyakit yang dibawa oleh nyamuk ini biasanya banyak atau endemik di wilayah iklim tropis khususnya di daerah yang memiliki kelembaban yang tinggi. Selain itu, daerah subtropis juga umumnya memiliki kasus DBD,” kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, saat dihubungi Republika, Selasa (19/12/2023).
Menurut Ardhasena, kontrol iklim terhadap kasus DBD dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, kontrol iklim terhadap eksistensi kemunculan DBD, dimana iklim menyebabkan daerah tropis dan subtropis memiliki kasus DBD atau endemik DBD. Lalu kedua, kontrol iklim terhadap DBD adalah variasi musim, yang menentukan variabilitas atau variasi jumlah kasus dari musim ke musim.
Untuk kasus DBD di wilayah Indonesia, kata Ardhasena, ada keterkaitan dengan musim khususnya musim hujan. Menurut pengamatannya, puncak kasus DBD di Indonesia biasanya terjadi setelah puncak musim hujan.
“Saat musim hujan mulai terjadi, kasus DBD pun biasanya mulai meningkat. Dan puncak kasus biasanya terjadi setelah puncak musim hujan. Gap-nya sekitar enam hingga delapan pekan dari puncak musim hujan ke puncak kasus DBD,” kata Ardhasena.
Dari kontrol iklim yang dimungkinkan untuk berpengaruh terhadap DBD itu adalah terutama parameter temperatur, curah hujan, dan kelembaban. Adapun untuk di wilayah Indonesia temperaturnya cukup hangat untuk adanya baseline DBD, sementara variasi iklim antar musim di kasus DBD lebih didominasi oleh kelembaban dan temperatur.
"Pada daerah di dataran tinggi seperti Malang, temperatur memiliki pengaruh terhadap kontrol DBD. Sementara itu, di tempat lain kontrol jumlah DBD itu lebih dipengaruhi oleh kelembaban," kata Ardhasena.
Sementara itu, guna mengantisipasi ancaman lonjakan DBD, ada beberapa hal yang perlu dilakukan termasuk mengedukasi masyarakat untuk rutin melakukan 3M Plus yakni menguras dan menyikat, menutup tempat penampungan air, dan memanfaatkan atau mendaur ulang barang bekas. Plusnya adalah bagaimana mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk dengue seperti menanam tumbuhan pengusir nyamuk.
Upaya intervensi teknologi atau kewaspadaan dini bisa dilakukan dengan mengintegrasikan keahlian di bidang iklim dan kesehatan, sehingga dapat dibuatnya informasi peringatan dini DBD.
“BMKG kebetulan sudah memiliki sistem peringatan dini DBD, yang sudah beroperasi sejak tahun 2019 di wilayah DKI. Jadi di wilayah DKI dapat diberikan warning potensi kasus DBD, atau potensi kondisi iklim yang menyebabkan lonjakan kasus atau outbreak,” jelas Ardhasena.
Menurut Ardhasena, informasi peringatan dini DBD juga akan segera diluncurkan untuk lokasi lainnya seperti di Provinsi Bali, dan Bandung yang sedang dikembangkan.