Ketua BEM UGM Mengaku Diintimidasi Usai Kritik Jokowi, Orang Mengaku Intel Datangi Kampus
Meski mendapat intimidasi, Gielbran menuturkan bahwa ia tidak merasa tergangg.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM), Gielbran Muhammad Noor mengaku menerima intimidasi dari oknum yang mengaku sebagai intel. Intimidasi itu didapat setelah pihaknya memberikan kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
BEM UGM sendiri menggelar diskusi publik dan mimbar bebas 'Rezim Monarki Sang Alumni Amblesnya Demokrasi Ambruknya Konstitusi dan Kokohnya Politik Dinasti'. Diskusi itu juga dipasang baliho wajah Jokowi yang berisi pesan kritik.
Baliho itu bertuliskan 'BEM KM UGM Presents: Alumnus UGM Paling Memalukan. Mr. Joko Widodo'. "Iya, kita sempat mendapatkan intimidasi, cuma kami menganggap itu sebagai wujud yang tidak mengganggu secara fisik," kata Gielbran saat menyampaikan pernyataan di Lembah Kopi UGM, Sleman, Kamis (21/12/2023).
Meski mendapat intimidasi, Gielbran menuturkan bahwa ia tidak merasa terganggu karena bukan merupakan kekerasan fisik. Bahkan, ia juga mengaku tidak merasa takut dengan intimidasi yang ia dapatkan.
"Saya merasa tidak takut dan itu menjadi bukti bahwa kita harus senantiasa terus bergerak. Jadi tidak ada kata-kata takut, dan yang perlu teman-teman ketahui bahwa selama tidak ada gangguan fisik, saya rasa intimidasi-intimidasi itu sebagai sebuah angin lalu," ucap Gielbran.
Gielbran menuturkan, bahwa ia sempat dikabari oleh pihak kampus bahwa ada oknum yang mengaku intel meminta biodata pribadinya. Meski begitu, dari pihak kampus tidak memberikan data yang diminta karena tidak ada surat tugas yang dibawa oleh oknum intel tersebut.
"Beberapa hari yang lalu saya sempat dikabari oleh salah satu fungsionaris di fakultas peternakan, karena kebetulan saya mahasiswa fakultas peternakan. Saya dihubungi oleh wakil dekan dan beliau menyampaikan bahwa ada oknum yang mengaku sebagai intel mendatangi fakultas, kemudian dia memintai biodata kepada pihak akademik," jelasnya.
"Namun dari fakultas melarang untuk memberikan biodata karena tidak ada izin atau tidak ada surat tugas, sehingga biodata yang diminta tidak diberikan," ucap Gielbran.
Selain itu, Gielbran juga mengaku bahwa tidak hanya dirinya yang menerima intimidasi. Namun, keluarganya di Sragen, Jawa Tengah juga sempat dicari oleh oknum yang mengaku intel.
Oknum intel tersebut mendatangi ketua RT untuk meminta bertemu dengan orang tua Gielbran. Hanya saja, dari ketua RT juga menghalau dan membatasi agar oknum intel tersebut tidak bertemu dengan orang tua Gielbran.
"Sehingga tidak sampai intel-intel tersebut bertemu dengan keluarga saya, (dia) sudah mengundurkan diri dan tidak mengintervensi secara langsung. Jadi sebatas lewat ketua RT, kemudian ketua RT meminta untuk tidak usah sampai ke orang tua cukup di ketua RT saja," jelasnya.
Meski mendapat intimidasi, Gielbran menyebut belum ada serangan secara fisik yang diterimanya. "Pasca-diskusi tidak ada yang menyampaikan menyerang saya secara langsung, kalau dari yang mengaku pihak berwenang," kata Gielbran.
Gielbran menuturkan bahwa BEM UGM sendiri sudah sering melontarkan kritik kepada pemerintah Jokowi. Bahkan sejak masa awal ia menjadi ketua BEM UGM.
"Kita juga sempat mengawal terkait (UU) Cipta Kerja juga, bahkan UU Kesehatan kita sudah membuat kajiannya, kebebasan berpendapatan, ekonomi hijau. Kita juga mengawal itu, kemudian kita juga mengawal dengan SOP kampanye di kampus," tambah Gielbran.
Sebab, Gielbran mengaku ada isu yang beredar bahwa kritik yang dilontarkan saat diskusi terafiliasi oleh partai politik tertentu dan merupakan pesanan pihak-pihak tertentu. Namun, Gielbran menampik bahwa isu-isu yang beredar tidaklah benar.
"Adapun untuk serangan-serangan langsung kepada saya, konteksnya tidak sesudah diskusi tapi sebelum diskusi yang sempat saya sampaikan kemarin. Cuma saya tidak ingin untuk mengaitkan itu dengan acara diskusi kemarin, karena intimidasi yang secara langsung saya alami terjadi di bulan September. Jadi saya rasa tidak ada kaitannya dengan agenda (diskusi di) Desember kemarin," katanya.
Pihaknya melontarkan kritik murni untuk kepentingan masyarakat. Gielbran pun juga menuturkan bahwa narasi kritik yang disampaikan tidak fokus terkait pemilu 2024.
"Sehingga kalau ada narasi bahwa ini hanya fokus pada serangan pemilu, sekali lagi tidak. Kita sudah konsisten sejak awal (mengkritik) membahas isu pendidikan, lingkungan, ekonomi, kesehatan bahkan sampai ketenagakerjaan, dan hukum," ungkap Gielbran.
Seperti diketahui, diskusi 'Rezim Monarki Sang Alumni Amblesnya Demokrasi Ambruknya Konstitusi dan Kokohnya Politik Dinasti' mendatangkan berbagai narasumber. Mulai dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan Zainal 'Uceng' Arifin Mochtar, dimana diskusi itu diselenggarakan sebagai wujud kritik terhadap buruknya kualitas demokrasi, penegakkan konstitusi, serta isu praktik politik dinasti di bawah pemerintahan Jokowi.