Nomokrasi dan Islamophobia: Akar Prasangka Buruk Terhadap Islam (Bagian 2)
Ada prasangka buruk terhadap konsep jihad dalam Islam.
Oleh: DR Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Halliday mengkritik buku A Fundamental Fear karya Bobby Sayyid yang merupakan salah satu buku pertama yang mencoba untuk memberikan analisis teoretis tentang Islamofobia.
Halliday menilai bahwa buku tersebut memiliki beberapa kelemahan, seperti menggunakan terminologi yang tidak jelas dan ambigu, mengabaikan perbedaan antara Islamisme dan fundamentalisme, menganggap bahwa semua umat Muslim adalah subjek politik yang aktif, dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosial, budaya, atau psikologis yang memengaruhi sikap terhadap Islam (Halliday 1999: 898-900).
Halliday mengkritik buku The Clash of Civilizations karya Samuel Huntington yang merupakan salah satu buku paling kontroversial yang membahas hubungan antara Islam dan Barat.
Halliday menilai bahwa buku tersebut memiliki beberapa kesalahan, seperti menggunakan konsep peradaban yang tidak ilmiah dan esensialis, mengabaikan dinamika internal dan eksternal masing-masing peradaban, mengasumsikan bahwa peradaban adalah aktor politik yang monolitik dan homogen, dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memengaruhi konflik atau kerja sama antara negara-negara (Halliday 1999: 900-902).
Buku Islamophobia: A Concept Comes of Age karya Brian Klug adalah sebuah buku yang membahas tentang perkembangan konsep dan definisi Islamofobia, yaitu ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap agama Islam atau umat Muslim secara umum. Buku ini merupakan salah satu buku pertama yang mencoba untuk memahami dan mengontekstualisasikan Islamofobia sebagai salah satu bentuk prasangka yang paling berbahaya pada zaman kontemporer. Buku ini terdiri atas satu bab tunggal yang dibagi menjadi enam bagian.
Klug menjelaskan bahwa ia tertarik untuk menulis tentang Islamofobia karena ia merasa bahwa istilah dan konsep tersebut telah disalahgunakan dan disederhanakan oleh banyak orang. Ia juga menjelaskan bahwa ia memiliki pengalaman pribadi sebagai seorang akademisi yang pernah tinggal dan bekerja di berbagai negara Muslim, seperti Iran, Sudan, dan Yaman. Ia mengaku bahwa ia memiliki simpati dan rasa hormat terhadap Islam sebagai agama dan peradaban.
Klug mengulas sejarah perkembangan istilah dan konsep Islamofobia sejak awal abad ke-20 hingga akhir abad ke-21. Ia juga mengulas tentang beberapa buku dan laporan yang membahas tentang Islamofobia, seperti laporan Runnymede Trust pada tahun 1997, buku A Fundamental Fear karya Bobby Sayyid pada tahun 1997, dan buku The Clash of Civilizations karya Samuel Huntington pada tahun 1996.
Ia menunjukkan bahwa buku-buku dan laporan tersebut memiliki kelemahan-kelemahan dalam mendefinisikan dan mengategorisasi Islamofobia.
Klug mengkritik definisi-definisi yang ada tentang Islamofobia dan mencoba untuk merumuskan definisi baru yang lebih komprehensif dan akurat.
Ia juga membandingkan dan mengorelasikan Islamofobia dengan fenomena-fenomena lain, seperti rasisme, anti-Semitisme, xenofobia, atau homofobia. Ia juga mengemukakan bahwa Islamofobia adalah sebuah ideologi baru yang dibentuk oleh media generasi baru.
Klug menyimpulkan poin-poin utama yang telah dibahas dalam buku ini dan memberikan beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut tentang Islamofobia. Ia juga memberikan beberapa saran untuk mengatasi Islamofobia, seperti meningkatkan dialog antara Islam dan Barat, mempromosikan pendidikan multikultural, dan melawan diskriminasi dan kekerasan terhadap umat Muslim.
Klug mengutip definisi Islamofobia yang diberikan oleh laporan Runnymede Trust sebagai berikut: 'Islamophobia is a shorthand way of referring to dread or hatred of Islam – and, therefore, to fear or dislike of all or most Muslims' (Klug 2012: 667).
Klug menilai bahwa definisi ini terlalu luas dan kabur karena tidak membedakan antara sikap terhadap agama (Islam) dan orang-orang (Muslim), tidak mempertimbangkan konteks sosial atau politik, tidak menjelaskan penyebab atau dampak dari prasangka tersebut, dan tidak memberikan kriteria atau indikator untuk mengidentifikasi atau mengukur prasangka tersebut.
Klug mengutip definisi Islamofobia yang diberikan oleh Bobby Sayyid sebagai berikut: 'Islamophobia is a form of racism that targets expressions of Muslimness or perceived Muslimness' (Klug 2012: 669). Klug menilai bahwa definisi ini lebih baik daripada definisi Runnymede Trust karena menggunakan konsep rasisme sebagai kerangka analisis, membedakan antara identitas Muslim (Muslimness) dan agama Muslim (Islam), dan mempertimbangkan faktor persepsi dalam membentuk prasangka.
Namun, Klug juga menilai bahwa definisi ini masih memiliki beberapa masalah, seperti menggunakan terminologi yang tidak jelas (rasisme, Muslimness) dan tidak menjelaskan hubungan antara rasisme dan agama.
Klug memberikan definisi baru tentang Islamofobia sebagai berikut: 'Islamophobia is a form of social exclusion that targets people and communities who are associated, or identify themselves, with Islam, the religion. It is a form of racism in the sense that it is based on a process of racialization: the construction of a group as a race. It is also a form of racism in the sense that it is based on a process of othering: the construction of a group as an alien 'other'. It is also a form of racism in the sense that it is based on a process of essentialization: the construction of a group as having an unchanging and homogeneous essence. Islamophobia is not simply a form of prejudice or discrimination, but a form of ideology that serves to justify and legitimize social exclusion' (Klug 2012: 674-675).
Klug menilai bahwa definisi ini lebih komprehensif dan akurat daripada definisi-definisi sebelumnya karena menggunakan konsep-konsep teoretis yang relevan (rasialisasi, othering, esensialisasi, ideologi), membedakan antara agama (Islam) dan orang-orang (Muslim), mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan politik, dan menjelaskan penyebab dan dampak dari prasangka tersebut.
Artikel Sheridan (2006) membahas tingkat diskriminasi rasial dan agama yang dialami oleh 222 Muslim Inggris sebelum dan sesudah peristiwa 11 September 2001. Penulis menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang pengalaman diskriminasi, kesehatan mental, dan identitas religius.
Hasilnya menunjukkan bahwa setelah 11 September 2001, tingkat diskriminasi implisit atau tidak langsung meningkat sebesar 82,6 persen dan tingkat diskriminasi eksplisit atau langsung meningkat sebesar 76,3 persen.
Artikel ini juga menunjukkan bahwa afiliasi agama mungkin merupakan prediktor prasangka yang lebih berarti daripada ras atau etnis. Skor Kuesioner Kesehatan Umum menunjukkan bahwa 35,6 persen peserta kemungkinan mengalami masalah kesehatan mental, dengan adanya hubungan signifikan antara skor yang menunjukkan masalah dan laporan mengalami insiden pelecehan spesifik yang terkait dengan 11 September oleh peserta.
Artikel ini menekankan bahwa kurangnya penelitian empiris tentang diskriminasi agama dan dampaknya adalah hal yang perlu diperhatikan.
“Meskipun banyak penelitian akademis telah membahas rasisme, diskriminasi agama telah diabaikan. Penelitian saat ini menyelidiki tingkat diskriminasi rasial dan agama yang dilaporkan sendiri dalam sampel 222 Muslim Inggris. Responden menunjukkan bahwa setelah 11 September 2001, tingkat diskriminasi implisit atau tidak langsung meningkat sebesar 82,6 persen dan pengalaman diskriminasi eksplisit atau langsung meningkat sebesar 76,3 persen. Dengan demikian, karya saat ini menunjukkan bahwa peristiwa dunia utama dapat memengaruhi tidak hanya stereotip kelompok minoritas, tetapi juga prasangka terhadap minoritas.” (Sheridan, 2006: 317)
“Kuesioner dikirimkan kepada semua anggota Asosiasi Muslim Inggris (IMA) yang memiliki alamat pos di Inggris. IMA adalah organisasi sukarela yang didirikan pada tahun 1989 untuk mewakili kepentingan Muslim Inggris dalam hal sosial, politik, ekonomi, dan budaya. IMA memiliki sekitar 2.000 anggota dari berbagai latar belakang etnis dan denominasi Islam. Kuesioner dikirimkan pada bulan Januari 2002 dan dikembalikan pada bulan Maret 2002. Tingkat respons adalah 11,1 persen, dengan total 222 kuesioner yang dikembalikan.” (Sheridan, 2006: 320).
Bagian di mana penulis menjelaskan hasil penelitian ini sebagai berikut: “Hasil analisis varians satu arah menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat diskriminasi rasial dan agama sebelum dan sesudah 11 September (F(1,221) = 8.02, p .01). Rata-rata tingkat diskriminasi rasial sebelum 11 September adalah 1.74 (SD = .80), sedangkan rata-rata tingkat diskriminasi rasial setelah 11 September adalah 2.01 (SD = .86).
Rata-rata tingkat diskriminasi agama sebelum 11 September adalah 1.81 (SD = .83), sedangkan rata-rata tingkat diskriminasi agama setelah 11 September adalah 2.29 (SD = .92). Ini menunjukkan bahwa setelah 11 September, responden melaporkan peningkatan pengalaman diskriminasi rasial sebesar 15,5 persen dan peningkatan pengalaman diskriminasi agama sebesar 26,5 persen.” (Sheridan, 2006: 323).
Tulisan Bar (2008: 11-20) adalah sebuah tulisan yang membahas motivasi dan ideologi agama yang mendasari terorisme Islam.
Tulisan ini mengeklaim bahwa terorisme Islam tidak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep jihad, syariat, dan khilafah. Tulisan ini juga mengkritik pandangan-pandangan yang menganggap bahwa terorisme Islam disebabkan oleh faktor-faktor politik, sosial, atau ekonomi semata.
Bar menjelaskan tentang konsep syariat sebagai hukum Allah yang harus ditaati oleh semua umat Muslim. Bar menulis: “Syariat is the law of God as revealed to the Prophet Muhammad and as interpreted by the jurists (fuqaha) of the various schools of Islamic law (madhahib). It covers all aspects of life, from itual obligations to personal status, criminal law, and public law. It is considered to be the ideal law for mankind and the expression of God’s will and justice. Therefore, it is incumbent upon all Muslims to abide by it and to strive for its implementation in their societies.” (Bar 2008: 13)
Bar menjelaskan tentang konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam yang ideal.
Bar menulis: “Khilafah is the term used to denote the Islamic state or polity that is headed by a caliph (khalifah), who is the successor (khalifat rasul Allah) of the Prophet Muhammad and the leader (imam) of the Muslim community (ummah). The caliph is supposed to rule according to the syariat and to protect and expand the domain of Islam (dar al-Islam) against the domain of war (dar al-harb), where non-Muslims live. The caliphate is considered to be the only legitimate form of government for Muslims and the restoration of the caliphate is a common aspiration among many Islamist movements.” (Bar 2008: 14)
Bar menjelaskan konsep jihad sebagai perjuangan melawan musuh-musuh Islam. Bar menulis: “Jihad is derived from the root j-h-d, which means to strive or to exert oneself. In Islamic terminology, it means to strive in the way of God (fi sabil Allah) or to fight for the cause of Islam. Jihad can be divided into two types: greater jihad (jihad al-akbar), which is the spiritual struggle against one’s own ego and passions; and lesser jihad (jihad al-asghar), which is the armed struggle against the enemies of Islam. The latter can be further divided into defensive jihad, which is obligatory for all Muslims when their lands are attacked or threatened by non-Muslims; and offensive jihad, which is obligatory for the Muslim state or community to wage against non-Muslims in order to spread Islam or to subjugate them under Islamic rule.” (Bar 2008: 15)