China Ogah Gabung Koalisi AS dkk Perangi Houthi di Laut Merah
Beijing dilaporkan tidak tertarik bergabung dengan Operasi Penjaga Kemakmuran.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, Lintar Satria
Pemerintah China dilaporkan enggan untuk memenuhi permintaan bantuan dari Amerika Serikat lewat Menteri Luar Negeri Antony Blinken agar pasukan milter Negeri Tirai Bambu ikut bergabung dalam koalisi melawan militan Houthi di Yaman untuk melindungi jalur perdagangan di Laut Merah. Diketahui, sejauh ini negara-negara anggota NATO seperti Inggris, Kanada, Prancis, Italia, Norwegia, dan Belanda menjanjikan dukungan bagi Operasi Penjaga Kemakmuran untuk melindungi kapal-kapal dagang yang transit antara Asia dan Eropa.
Beijing, seperti dilaporkan Politico, Jumat (22/12/2023), memberikan isyarat, bahwa mereka tidak tertarik untuk bergabung ke operasi bentukan AS itu.
"Kami percaya pihak-pihak relevan, khususnya negara-negara besar yang memiliki pengaruh, harus memainkan peran konstruktif dan bertanggung jawab dalam menjaga keamanan kapal-kapal di Laut Merah," ujat juru bicara Menteri Luar Negeri China, Wang Wenbin, Kamis (21/12/2023).
Rujukan Wang atas "negara-negara berpengaruh" merefleksikan pengakuan Beijing, bahwa AS dan sekutunya lebih mampu mengumpulkan secara segera kekuatan angkatan laut untuk melindungi kapal-kapal di Laut Merah, dibandingkan China. Dalam keterangannya, Wang tidak menegaskan apakah Beijing akan menggunakan privilese hubungan dekatnya dengan Iran, negara yang mendanai dan mempersenjatai Houthi, untuk mengakhiri serangan para militan.
Seperti ditegaskan juru bicara Houthi, Mohammed Abdulsalam, dikutip Reuters, pada Kamis, mereka akan melanjutkan serangan tanpa memedulikan terbentuk atau tidaknya koalisi bentukan AS di Laut Merah. Diyakini, serangan Houti mempengaruhi 15 persen dari total perdaganan dunia di mana kapal-kapak menjadi harus mengubah rute lebih jauh untuk sampai tujuan ketimbang melewati Selat Bab Al-Mandeb agar bisa mencapai jalur pintas yakni, Terusan Suez di Mesir.
Pada awal bulan ini, lewat sambungan telepon langsung dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi, Antony Blinken mengakui kekhawatirannya atas serangan Houthi meningkat dengan menyebut kondisi di Laut Merah, "ancaman terhadap keamanan laut dan hukum internasional yang tidak dapat diterima." Juru bicara Kemenlu AS, Matthew Miller dalam keterangan pers kemarin, pun sempat mengangkat harapan Washington atas bantuan China di Laut Merah.
"Serangan Houthi juga mengganggu China… Jadi iya, kami akan menyambut China memainkan peran konstruktif dalam upaya mencegah serangan-serangan itu," kat Miller.
Pernyataan Wang pada Kamis merefleksikan sikap pasif Beijing terhadap krisis di Timur Tengah sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober dan perang Israel-Hamas yang masih berlangsung dan mengakibatkan puluhan warga sipil ikut terbunuh. Meski diketahui, setelah insiden 7 Oktober, Beijing mengirimkan utusan khusus ke Timur Tengah, Zhai Jun dengan tujuan dapat "mendinginkan situasi". Namun, misi diplomatik Zhai tak sampai pada pertemuan dengan pemerintah Israel dan Otoritas Palestina.
Sebagian pakar menilai, koalisi 10 negara yang dipimpin AS tidak akan mampu menghentikan kelompok Houthi dari Yaman menyerang kapal-kapal di Laut Mereka. Namun, kedua belah pihak berkepentingan untuk menghindari eskalasi yang dapat tak terkendali.
"Houthi tidak akan berhenti melakukan apa yang mereka lakukan sampai Israel menghentikan serangannya ke Gaza dan bahkan mereka akan terus melakukannya dalam waktu lama," kata pakar dari Eurasia Group Gregory Brew pada Aljazirah, Jumat (22/12/2023).
Sejauh ini belum ada laporan korban jiwa atau terluka dalam serangan-serangan Houthi. Tetapi, langkah kelompok tersebut sudah berdampak besar bagi pengiriman komoditas lewat laut internasional.
Setidaknya, sudah 12 perusahaan pengiriman menangguhkan transit ke Laut Merah. Termasuk perusahaan-perusahaan pengiriman terbesar di dunia seperti perusahaan gabungan Italia-Swiss Mediterranean Shipping Company, perusahaan Prancis CMA CGM dan perusahaan Denmark AP Moller-Maersk.
Sekitar 12 persen pengiriman minyak dan delapan persen pengirim gas alam cair dilakukan melalui selat Bab al-Mandeb. Sebagian besar menuju Eropa. Tapi komoditas lain seperti gandum, minyak sawit dan komoditas manufaktur yang terdampak atas serangan-serangan Houthi.
Sebagian besar perusahaan memilih mengitari ujung selatan Afrika meski memperpanjang waktu pengiriman sekitar sembilan hari dan menambah biaya sedikitnya 15 persen.
Pakar Yaman, Nicholas Brumfield mengatakan pemerintah Yaman di Eden dalam posisi sulit. Meski mengecam langkah Houthi yang menurut mereka melanggar kedaulatan pemerintah sah tapi pemerintah di Eden juga tidak bersedia terlihat mendukung Israel.
Sementara itu, Iran yang merupakan pendukung terbesar Houthi belum mengambil langkah yang dapat memperluas perang Gaza ke seluruh kawasan. Namun pakar mengatakan pengaruh Iran pada Houthi memiliki batasan.
"Mereka berbagi tujuan dengan Teheran tapi kami tidak boleh melebih-lebihkan pengaruh yang dimiliki Iran terhadap Houthi, mereka memiliki agenda mereka sendiri," kata kata peneliti senior di Institut Studi Politik Internasional Italia (ISPI) Eleonora Ardemagni.
Sebelum 7 Oktober, Houthi mendapat tekanan dari dalam negeri terkait isu-isu seperti reformasi pemerintah yang tidak populer dan kegagalan membayar gaji. Namun, dukungan mereka terhadap rakyat Gaza sangat populer di kalangan warga Yaman.
"Sudah lama mereka menantang Israel, khususnya mereka mencoba untuk menunjukkan implikasi transnasional dari pandangan mereka dan menunjukkan kekuatan dan posisi mereka," kata Vakil tentang Houthi.
Brumfield mengatakan media pemerintah Houthi mengumumkan lebih dari 1.000 protes, boikot, atau upaya perekrutan sejak dimulainya perang Israel di Gaza. Banyak orang di Yaman yang lelah berperang, setelah kurang dari satu dekade perang saudara.
Namun, dukungan untuk Palestina terbukti sangat populer sehingga Houthi mampu merekrut pejuang baru yang kemudian dapat mereka gunakan untuk perang dalam negeri.
"Mereka merekrut banyak pejuang dengan janji mereka akan pergi berperang di Palestina, mereka mengatakan 'Anda akan pergi berperang di Palestina' dan kemudian mereka mengerahkan pasukan itu untuk melawan kubu pemerintah Yaman di Marib," kata Brumfield.