Harga Minyak Naik Akibat Serangan Houthi di Laut Merah
Semakin banyak perusahaan pengiriman menghindari Laut Merah karena serangan Houthi.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak naik karena ketegangan di Timur Tengah menyusul serangan Houthi terhadap kapal-kapal di Laut Merah. Meskipun keputusan Angola untuk keluar dari OPEC menimbulkan pertanyaan mengenai keefektifan kelompok tersebut dalam mendukung harga.
Minyak mentah berjangka Brent pada Jumat (22/12/2023) naik 92 sen, atau 1,2 persen, menjadi 80,31 dolar AS per barel pada 1445 GMT.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS naik 1,02 dolar AS atau 1,4 persen menjadi 74,91 dolar AS per barel.
Baik Brent dan WTI berjangka berada di jalur untuk naik lebih dari 4 persen dalam satu pekan ke depan. Didukung meningkatnya risiko geopolitik karena serangan Laut Merah dan potensi gangguan pada operasi pengiriman.
Semakin banyak perusahaan pengiriman yang menghindari Laut Merah karena serangan-serangan Houthi ke kapal-kapal komersial yang diduga memiliki hubungan dengan Israel. Kelompok yang didukung Iran itu mengatakan serangan-serangan tersebut sebagai respons atas perang Israel di Gaza.
Perusahaan ekspedisi raksasa Maersk dan CMA CGM mengatakan mereka akan mengenakan biaya tambahan terkait pengalihan rute kapal.
Serangan-serangan tersebut menyebabkan gangguan melalui Terusan Suez, yang menangani sekitar 12 persen perdagangan dunia.
"Penghentian pasokan secara langsung bukanlah satu-satunya alasan mengapa harga minyak akan digerakkan oleh situasi Laut Merah; tarif pengangkutan dan biaya asuransi meningkat dan bukan hanya karena premi perang semu," kata pengamat asal PVM, John Evans, mengenai dampak gangguan ini.
Pada Kamis (21/12/2023) kemarin harga minyak juga turun setelah Angola mengumumkan akan keluar dari OPEC.
Negara Afrika ini yang memproduksi sekitar 1,1 juta barel per hari mengatakan keanggotaannya dalam organisasi ini tidak melayani kepentingannya, setelah memprotes keputusan kelompok OPEC+ untuk mengurangi kuota produksi Angola pada tahun 2024.
"Tindakan ini sudah dapat diprediksi karena sikap Angola pada pertemuan OPEC terakhir, namun hal ini mengingatkan kita pada perpecahan yang mungkin akan melanda persatuan di masa depan," tambah Evans dari PVM.