Tanah Asal Darah dan Air Mata: Journey to Suriah, Lebanon, Palestina, Bosnia..!
Penderitaan, kucuran darah, dan air mata ada membentang dari Suriah hingga Bosnia.
Ain Helwa
Adakah kau simpan lenguh rinduku pada laut berkapur:
Ain Helwa. Pucuk pinus hanya menyisahkan tiris embun
daun. Dan raunganku terkapar pada padang-padang tandus
kaktus. Darahku menetes. Aku panggil Rumi. Ia tak
datang juga. Bayangannya hanya menjelma pada tali
pusar gadis Rusia. Atau, pada usungan keranda lelaki
Palestina bersenjata.
Sudah lama tanah ini menjadi batu. Jauh sebelum Musa
terusir dari tanah perjanjian. Dan jauh sebelum Tuhan
menampakan diri pada bukit Tursina.
Di sebuah plaza aku hanya temukan Gibran yang
menggigil kedinginan. Dia hanya bisa menyeru, tapi
Tuhan lari entah kemana. Wajahnya pasi seperti ragi.
Rindunya pada masa kanak tersangkut pada butik Kosmo
Amerika. Sedangkan mimpinya terbang sendirian. Tanpa
busur. Tanpa anak panah.
Inilah tanah impian. Seratus nabi dan ribuan pengungsi
telah lahir di sini.
Ain Helwa engkaulah nisan dalam hidupku.
Gaza-Beirut 2003
Kicau Sepasang Balam di Gerbang Sabra
Sepasang mata biru membasah
menatap luruh yang jauh
pada ujung palka atap tersisa
Di ujung tepian sana ada sepasang balam
berdendang riuh
merenda sarang
mengepak sayap
mengepak ranting zaitun sehelai demi sehelai
demi membangun sepetak impian rumah surga
Tanyanya, aku rindukan Ali?
setelah usai amarah karbala
menjemput Fatma yang berangkat tadi pagi
bersama auman burung besi dan lantak mesiu
Ucapnya lagi, aku tak akan mengucurkan air mata
apalagi bersedih
Lihatlah Ali pergi berkuda dengan jubah biru Ayubi
Lalu terbang bersama wewangian Attar
Bersama labuh pujian elegi nyanyian Daud
Dijemput buraq ke kubah emas aqsa
Tak akan punah riduku
Pada sepasang mata biru itu
Di tubir akhir badai November sebelum hujan
Di gerbang Sabhra
Sabra-Shatila 2012-2023
Elija
Musim semi telah lama memerahmu
namun sepi selalu merajam makna
pada getir rajam diri Fatma
pada bulan di malam jahanam.
Kini seuntai tulip melati
aku kalungkan kembali di lehermu
untuk mengenang hari-hari yang jauh
yang penuh mesiu teriakan dan tembakan
dalam kutuk kuyup dendam.
Sarajevo-Shatila 2017
Nyanyian Kekasih di Boulevard Khalil Gibran Street
Pada deretan plaza aku temukan sosok bayanganmu yang
membatu. Hidup menjadi anteian keluhan. Ada yang
menjelma kecap, ketimun, selada, daging kambing panggang,
kaleng soda, cendawan hutan, atau sekawanan binatang
ternak.
Kekasih, aku potong kepalaku sendiri ketika hujan pagi
ini menggenangi got-got dan pelimbahan komplek taman.
Sebelum itu aku telah pakukan namamu pada bangku taman
dan tiang ayunan. Angin hanya beku memandangku ketika
mata gergaji mulai menetaki ruas batang leher. Tak ada
darah. Tak ada air mata. Tak ada lenguhan. Semua diam
membisu.
Percuma bila Tuhan kau keluhkan. Nasib menuai mati di
tanganku. Tak perlu lagi doa yang kau ulurkan karena
itu telah berubah menjadi sulur akar pohon yang akan
merambati batu nisanku.
Kekasih, alangkah indahnya bila hidup yang mulai sudah seperti
Mati yang syahid
PENULIS:
Muhammad Subarkah. Penulis dan Jurnalis Republika. Karyanya berupa cerpen, puisi, hingga esai tersebar di berbagai media semenjak mahasiswa. Permah mengurusi majalah mahahsiswa, menukis karya tulis ilmiah dan jurna, meraih pengharngaan jurnalisme award Husni Thamrin dan penulisan Pemilu KPU. Menulis buku Lelali Buta Melihat Ka;bah dan Orang Buta Melihat. Ka’bah yang diterbitkan penerbut Republika. Puisi berada dalam berbagai antologi puisi yang diterbitan Kompas, Jawa Pos, hingga Majalah Horison. Terakhir menulis buku untuk Demokrasi Di Era Digital yajng diterbitkan Yayasan Pusaka Obor dan Perhimpunan Penulis Satu Pena tahun 2021. Juga menulis untuk buku Kemanusian Corona yang diterbitkan Balai Pustaka dan Perhimpunan Penulis Satu Pena tahun 2019. Puisi-puisinya terkini termuat dalam antologi Kemanusian Palestina SATU PENA berjudul 'Perang Pecah di Gaza', Penerbit PT Cerah Budaya Indonesia, Desember 2023. Menulis tesis tentang jurnalisme profetik.