Pertimbangan Lengkap Dewas Jatuhkan Sanksi Pengunduran Diri pada Firli
Tak ada pertimbangan yang meringankan Firli atas kasus kode etik di KPK.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sidang pelanggaran kode etik dan perilaku Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri berujung pada vonis bersalah. Dewan Pengawas (Dewas) KPK menyatakan, Firli terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku berat.
Majelis pengadil internal di lembaga antikorupsi tersebut menjatuhkan sanksi terberatnya berupa permintaan agar Firli mengundurkan diri selaku ketua maupun anggota KPK. “Mengadili: menyatakan terperiksa saudara Firli Bahuri telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran kode etik dan kode prilaku,” kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorongan Panggabean saat membacakan putusan etik di Gedung Dewas KPK, Jakarta Selatan, pada Rabu (27/12/2023).
Vonis bersalah tersebut, tanpa disertai perbedaan pendapat kelima empat anggota Dewas lainnya. Selain Tumpak, bergantian empat anggota Dewas lainnya, Albertina Ho, Syamsuddin Harris, Haryono, dan Indriyanto Seno Adji membacakan putusan etik terhadap Firli.
Tumpak, dalam putusannya menerangkan, pelanggaran etik dan perilaku yang dilakukan Firli yaitu berupa adanya komunikasi dan hubungan langsung dengan Syahrul Yasin Limpo (SYL) lebih dari dua kali sepanjang 2023. Pertemuan tersebut diantaranya terjadi di rumah tinggal pribadi Firli di Villa Galaxy Bekasi, di rumah singgah Kertanegera 46 Jakarta Selatan (Jaksel), dan di GOR Tangki, Jakarta Barat (Jakbar).
Padahal, kata Tumpak, Firli, selaku ketua KPK mengetahui bahwa SYL adalah Menteri Pertanian (Mentan) yang sedang berperkara di KPK. SYL sebagai pihak yang menjadi objek pengusutan, penyelidikan, dan penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan sapi dan pungutan liar kenaikan pangkat-jabatan di Kementerian Pertanian (Kementan) 2019-2023.
Pertemuan dengan Yasin Limpo...
Tumpak mengatakan, komunikasi dan hubungan langsung antara Firli dengan SYL selaku objek penyelidikan dan penyidikan di KPK itu pun, tanpa disertai dengan pemberitahuan kepada komisioner KPK lainnya. Sehingga, menurut Dewas dalam putusannya, komunikasi dengan SYL tersebut menimbulkan kepentingan pribadi bagi Firli sebagai pemegang jabatan ketua komisioner di KPK.
“Bahwa hubungan langsung, maupun tidak langsung dengan Syahrul Yasin Limpo yang perkaranya sedang ditangani oleh KPK dan tidak memberitahukan kepada sesama pimpinan mengenai pertemuan dan komunikasi dengan Syahrul Yasin Limpo yang telah dilaksanakannya itu telah menimbulkan benturan kepentingan,” kata Tumpak.
Etika dan perilaku Firli tersebut, dalam putusan Dewas menegaskan, tak mencerminkan sikap, serta kepribadian dan teladan sebagai pemimpin di KPK. Pun sebagai bentuk sikap dan perilaku yang tak dapat dipertanggungjawabkan sebagai ketua maupun anggota KPK.
Dewas, dalam putusan etiknya itu, menebalkan Firli melanggar Pasal 4 ayat (2) a, Pasal 4 ayat (1) j, dan Pasal 8 e Peraturan Dewas KPK 3/2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Prilaku KPK. Atas pelanggaran tersebut Dewas KPK meminta Firli mengundurkan diri dari jabatannya di KPK.
“Menjatuhkan sanksi berat kepada terperiksa saudara Firli Bahuri berupa diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai pimpinan KPK,” kata Tumpak.
Dalam pertimbangan putusan, Dewas KPK tak memberi ampunan bagi Firli, karena tak ada perbuatan yang meringankan. “Hal yang meringankan. Tidak ada,” kata Tumpak.
Firli tak mengakui perbuatannya...
Justru, kata Tumpak dalam putusannya menegaskan, banyaknya perbuatan Firli yang semakin memberatkan sanksi. Di antaranya, Firli yang tak mengakui semua perbuatan yang dituduhkan. Dewas KPK juga mengambil sikap Firli yang mengabaikan persidangan etik terhadapnya, berupa ketidakhadiran saat persidangan etik dilakukan.
“Hal yang memberatkan: bahwa terperiksa tidak hadir dalam persidangan kode etik dan kode prilaku tanpa alasan yang sah. Meskipun sudah dipanggil secara patut,” begitu kata Tumpak.
Alih-alih datang ke persidangan etik, Dewas KPK, dalam putusannya bahkan menilai sikap Firli yang melakukan penghambatan jalannya sidang etik. “Terperiksa sebagai ketua KPK merangkap anggota KPK seharusnya menjadi contoh dalam megimplementasikan kode etik dan kode perilaku di KPK. Tetapi malah terperiksa melakukan sebaliknya,” ujar Tumpak.
Hal yang memberatkan lainnya, kata Tumpak, mengigat Firli adalah residivis etik selama menjabat sebagai pemimpin di KPK. “Bahwa terperiksa sudah pernah dijatuhkan sanksi etik,” kata Tumpak.
Pelanggaran etik berat lainnya...
Selain masalah berhubungan, dan berkomunikasi langsung dengan SYL sebagai pihak berperkara di KPK, putusan internal terhadap Firli juga menyangkut soal pelanggaran etik dan perilaku lainnya. Yakni menyangkut perbuatan Firli yang tak jujur dalam menyampaikan Laporan Hasil Kekayaan Pegawai Negari (LHKPN) selama menjabat sebagai ketua KPK 2019-2023.
Anggota Dewas KPK Albertina Ho dalam rangkaian fakta putusan mengungkapkan, bahwa Firli, sebagai pemimpin di KPK tak melampirkan dalam LHKPN-nya perihal kepemilikan uang tunai dalam pecahan asing. Diantaranya, kepemilikan uang tunai 7.400 dolar Australia; 599,6 ribu dolar Singapura; dan 90.900 dolar AS.
Terungkap dalam putusan, bahwa Firli melalui bawahan dan orang suruhannya, secara sendiri-sendiri dan bersama-sama melakukan penukaran dolar-dolar tersebut dengan cara berkala sepanjang Desember 2020 sampai September 2023 melalui money changer di kawasan Melawai-Jaksel. Jika dikonversikan, uang yang ditukar Firli senilai Rp 7,84 miliar.
“Bahwa di dalam LHKPN terperiksa (Firli Bahuri) 2019, 2020, 2021, dan 2022, tidak disertakan laporan tentang kepemilikan uang tunai sebagai hasil konversi valas yang dimiliki oleh terperiksa,” kata Albertina.
Juga diketahui, Firli sebagai ketua KPK menyembunyikan aset-aset miliknya yang diperoleh dari pembelian atas nama istri. Yaitu berupa pembelian satu unit apartemen mewah di kawasan Dharmawangsa-Jaksel, serta aset lainnya dalam bentuk belasan ribu meter persegi kepemilikan lahan yang tersebar di Bekasi, Bojongkoneng, Sukabumi, Palembang, dan di Yogyakarta.
Kepemilikan aset-aset tak bergerak tersebut diketahui pembeliannya sepanjang 2021 sampai 2022 ketika Firli masih menjabat sebagai pemimpin tertinggi di KPK. Namun Firli, tak melampirkan kepemilikan aset-aset tersebut di dalam LHKPN-nya.
Hal tersebut, dikatakan Dewas, mencederai konsistensi KPK sebagai motor utama dalam mewajibkan para penyelenggara negara dan penegak hukum untuk taat LHKPN sebagai kontrol publik dalam penelusuran perolehan harta kekayaan aparatur. “Sehingga seharusnya untuk insan KPK, apalagi terperiksa sebagai Ketua KPK menjadi pelopor dan teladan dalam pelaporan LHKPN secara jujur dan benar,” kata Abertina.
Tak laporkan sewa rumah singgah...
Anggota Dewas KPK Indriyanto Seno Adji, pun mengungkapkan dalam putusan, pelanggaran etik lainnya yang dilakukan Firli menyangkut pemanfaatan rumah singgah yang berada di Jalan Kertanegara 46 Jaksel. Indriyanto mengatakan, Firli selaku ketua KPK, bersama-sama anggota keluarganya, sejak Maret 2020 menggunakan rumah singgah yang berada di Jalan Kertanegara 46.
Diketahui rumah tersebut, dalam status sewa oleh seorang pengusaha Tirta Juwana Darmaji alias Alex Tirta sampai 31 Januari 2021. Penyewaan rumah tersebut pindah tangan dari Alex Tirta kepada Firli periode Februari 2022-Januari 2023, dan Februari 2023-Januari 2024. Nilai sewanya mencapai Rp 645,5 juta untuk periode pertama. Dan Rp 670 juta untuk periode kedua.
Namun diketahui, bahwa transaksi penyewaan rumah tersebut, masih dilakukan oleh Alex Tirta dengan mentransfer biaya sewa ke pemilik rumah. Dewas KPK juga tak menemukan adanya bukti pengeluaran uang sewa rumah Kertanegara 46 yang digunakan oleh Firli sebagai rumah singgah dalam LHKPN sepanjang 2020 sampai 2022.
“Bahwa dalam LHKPN 2020, 2021, dan 2022, terperiksa juga tidak melaporkan adanya pengeluaran untuk membayar sewa rumah di Jalan Kertanegara 46,” kata Indriyanto. Padahal diketahui, biaya penyewaan rumah oleh penyelanggara negara, masuk dalam kategori utang yang juga harus tercatat dalam LHKPN.
Bukan yang pertama...
Pelanggaran etik dan sanksi yang dijatuhkan Dewas KPK terhadap Firli ini, bukan yang pertama. Pada September 2020, Dewas KPK juga pernah menyatakan Firli melanggar etik. Saat itu Firli dilaporkan menikmati pemberian fasilitas penggunaan helikopter dari seorang pengusaha saat melakukan dinas dan kunjungan kerja, sekaligus agenda pribadi di Sumatra Selatan (Sumsel).
Namun pada waktu itu, Dewas KPK hanya memberikan sanksi teguran dan pemotongan gaji. Sebelum adanya Dewas KPK, internal lembaga pemburu koruptor itu, pada 2018 juga pernah menyatakan Firli melakukan pelanggaran etik. Waktu itu Firli masih menjabat sebagai deputi penindakan di KPK. Firli ketahuan melakukan pertemuan dengan salah-satu pihak berperkara, saat KPK mengusut korupsi kepemilikan saham perusahaan tambang di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Namun Firli yang saat itu masih berseragam kepolisian dengan pangkat inspektur jenderal (Irjen) hanya diberikan sanksi kembali ke institusi Polri. Pada 2019, Firli dengan modal pangkat komisaris jenderal (Komjen) kembali ke KPK dari hasil seleksi calon pemimpin (capim) KPK.