Setelah Israel, Afsel akan Tuntut AS dan Inggris ke ICJ Terkait Kejahatan Perang di Gaza

Hampir 50 pengacara di Afsel mempersiapkan tuntutan hukum terhadap AS dan Inggris.

ANP
Menteri Kehakiman Afrika Selatan Ronald Lamola hadir saat akan digelar sidang kasus genosida terhadap Israel yang diajukan oleh Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (ICJ),di The Hauge, Belanda, (11/1/2024).
Rep: Kamran Dikarma Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JOHANNESBURG -- Afrika Selatan (Afsel) akan menggugat Amerika Serikat (AS) dan Inggris ke Mahkamah Internasional (ICJ). Afsel menuduh kedua negara terlibat kejahatan perang yang dilakukan pasukan Israel di Jalur Gaza. Sebelumnya Afsel diketahui sudah membawa kasus dugaan genosida Israel di Gaza ke ICJ.

Baca Juga


Saat ini hampir 50 pengacara di Afsel sedang mempersiapkan tuntutan hukum terhadap AS dan Inggris. “AS sekarang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya,” kata Wikus Van Rensburg, pengacara Afsel yang memimpin upaya penuntutan terhadap AS dan Inggris di ICJ, dilaporkan Anadolu Agency, Senin (15/1/2024). 

Rensburg telah menulis surat ke berbagai negara dan ICJ selama beberapa pekan terakhir. Dia menuntut agar Israel dan para pendukungnya diadili terkait kejahatan yang berlangsung di Gaza. Dalam wawancara dengan Anadolu Agency, Rensburg mengatakan dia memperoleh banyak dukungan terkait gagasannya menuntut AS dan Inggris di ICJ.

“Banyak pengacara memutuskan untuk bergabung dengan kami dalam tuntutan hukum. Banyak dari mereka yang bergabung adalah Muslim, tapi saya bukan. Mereka merasa berkewajiban untuk membantu perjuangan ini, tapi saya yakin apa yang terjadi (di Gaza) tidak benar,” kata Rensburg.

Rensburg menambahkan, dia dan rekan-rekannya di Afsel sedang melakukan persiapan dengan menghubungi firma hukum di AS dan Inggris. Rensburg  mengungkapkan, kasus dugaan genosida yang diajukan Afsel terhadap Israel di ICJ akan menjadi panduan bagi kasus melawan AS dan Inggris. Dia mengatakan, proses penggugatan terhadap AS dan Inggris akan dimulai berdasarkan hasil putusan ICJ atas kasus Israel dan langkah-langkah yang bakal diambil PBB.  

Jika persidangan ICJ terhadap Israel dimenangkan oleh Afsel, Rensburg yakin AS mungkin akan menghadapi sanksi, meskipun mereka tidak menerima putusan tersebut. Dia berpendapat, putusan ICJ juga akan memperkuat tuntutan terhadap pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Rensburg kemudian menyinggung tentang invasi yang dilakukan AS ke Irak pada 2003. Dia menilai, tidak ada seorang pun yang meminta pertanggungjawaban AS atas kejahatan yang dilakukannya di Irak karena masalah itu dianggap tak penting.

Namun, menurut Rensburg, kini masyarakat percaya apa yang terjadi di Palestina adalah skenario ideal agar proses hukum dapat dilaksanakan. Dia mengingatkan AS sibuk mengeluarkan lebih banyak uang dan sumber daya untuk membiarkan Israel melakukan kejahatannya di Gaza. “Tidak ada yang bilang berhenti, cukup sudah,” ujarnya.

Persidangan dugaan genosida Israel di Gaza telah digelar selama dua hari di ICJ, pada 11-12 Januari 2024 lalu. Pada hari pertama persidangan, Afsel selaku penggugat, memaparkan bukti-bukti terkait adanya intensi dan tindakan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.

Adila Hassim, pengacara yang mewakili Afsel, mengatakan kepada panel hakim ICJ bahwa Israel telah melanggar Pasal II Konvensi Genosida. Hal itu mencakup “pembunuhan massal” terhadap warga Palestina di Gaza. “Israel mengerahkan 6.000 bom per pekan. Tidak ada yang selamat. Bahkan bayi yang baru lahir pun tidak. Para pemimpin PBB menggambarkannya sebagai kuburan anak-anak,” ujar Hassim, dikutip laman Aljazirah.

“Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini, kecuali perintah dari pengadilan ini,” tambah Hashim. 

Pada hari kedua persidangan, Israel membantah argumen-argumen yang diajukan Afsel. “Komponen kunci dari genosida, yaitu niat untuk menghancurkan orang, secara keseluruhan atau sebagian, sama sekali tidak ada,” kata tim hukum pemerintah Israel, kepada panel hukum ICJ, dikutip laman Anadolu Agency.

“Apa yang Israel cari dengan beroperasi di Gaza bukanlah untuk menghancurkan masyarakat, namun untuk melindungi rakyatnya yang diserang dari berbagai front, dan melakukannya sesuai dengan hukum, bahkan ketika mereka menghadapi musuh yang tidak berperasaan,” tambah tim hukum Israel.

Tim hukum Israel menegaskan bahwa negara tersebut hanya memerangi Hamas, bukan rakyat Palestina. “Jika Hamas meninggalkan strateginya, melepaskan sandera, (dan) meletakkan senjatanya, permusuhan dan penderitaan akan berakhir," kata tim hukum Israel.

Keputusan ICJ atas kasus ini nantinya bersifat mengikat. Namun kemampuan ICJ untuk menegakkan atau menerapkan keputusannya sangat kecil. Lebih dari 23.800 warga Palestina di Gaza telah terbunuh sejak Israel melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 56 ribu orang. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler