Menlu Saudi: Tak Ada Tanda Tujuan Israel dalam Perang di Gaza Tercapai

Saat ini prioritas Saudi adalah menemukan jalan menuju ketenangan.

AP Photo/Jacquelyn Martin
Menteri Luar Negeri Saudi Pangeran Faisal bin Farhan menghadiri konferensi pers tentang perang Israel-Hamas Jumat, (8/12/2023), di Washington.
Rep: Kamran Dikarma Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, BERN – Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan, negaranya tidak melihat ada kemajuan yang dicapai Israel dalam perangnya di Jalur Gaza. Pertempuran antara Israel dan Hamas diketahui telah berlangsung lebih dari 100 hari.

Baca Juga


“Kami tidak melihat tanda-tanda bahwa tujuan Israel di Gaza hampir tercapai,” ujar Pangeran Faisal pada panel di Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, Swiss, Selasa (16/1/2024), dilaporkan Anadolu Agency.

Dia menyampaikan, saat ini prioritas Saudi adalah menemukan jalan menuju ketenangan melalui interaksi nyata di kawasan. “Kita harus fokus pada pengurangan ketegangan melalui pencapaian gencatan senjata di Gaza,” ucapnya.

Pangeran Faisal pun menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya ketegangan di Laut Merah. Menurutnya, eskalasi di Laut Merah tak terlepas dari perang yang berlangsung di Gaza. “Kita harus fokus pada situasi di Gaza karena berdampak pada kawasan dan meningkatkan ketegangan di Laut Merah,” ujarnya.

“Penderitaan yang berkelanjutan di Gaza kemungkinan besar akan menciptakan siklus kekerasan yang tidak pernah berakhir,” tambah Pangeran Faisal.

Pada Senin (15/1/2024) lalu, kapal kargo jenis bulker bernama Gibraltar Eagle yang dimiliki dan dioperasikan Amerika Serikat (AS) diserang menggunakan rudal oleh kelompok Houthi Yaman saat sedang berlayar di Teluk Aden. Operator kapal Gibraltar Eagle, Eagle Bulk Shipping, mengungkapkan, Gibraltar Eagle terhantam proyektil tak dikenal saat berlayar 100 mil dari Teluk Aden.

“Akibat hantaman tersebut, kapal itu mengalami kerusakan ringan pada ruang kargo, tapi stabil dan sedang menuju keluar dari area tersebut,” kata Eagle Bulk, seraya menambahkan bahwa Gibraltar Eagle membawa muatan produk baja.

Serangan rudal ke Gibraltar Eagle merupakan balasan Houthi atas serangan militer AS dan Inggris ke Yaman. Pekan lalu, Houthi telah menyatakan akan membalas serangan militer AS dan Inggris ke Yaman. “Agresi Amerika dan Inggris tidak akan luput dari ganjaran,” kata Houthi dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Middle East Monitor.

Pernyataan itu dirilis beberapa jam setelah AS melancarkan serangan kedua ke Yaman pada Sabtu (13/1/2024). “Agresi terang-terangan Amerika dan Inggris, yang datang untuk mendukung entitas Zionis, tidak akan menghalangi Yaman untuk melanjutkan operasi militernya melawan musuh Israel dan mencegah kapal-kapalnya serta kapal-kapal lain menuju pelabuhan-pelabuhan Palestina yang diduduki,” ungkap Houthi.

Pada Sabtu pekan lalu, AS kembali meluncurkan serangan ke Yaman. Seperti sebelumnya, serangan terbaru membidik situs atau fasilitas milik kelompok Houthi.

Pada Kamis (11/1/2024), AS dan Inggris sudah melancarkan serangan udara ke beberapa wilayah di Yaman, termasuk ibu kota Sanaa. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengungkapkan, dalam serangan tersebut militer negaranya menargetkan fasilitas yang terkait dengan kendaraan udara tak berawak atau drone, rudal balistik dan jelajah, serta kemampuan radar pesisir dan pengawasan udara milik Houthi.

Serangan tersebut merupakan tanggapan AS dan Inggris atas masih berlanjutnya serangan Houthi ke kapal-kapal dagang di Laut Merah. Sejak pertengahan 19 November 2023, kelompok Houthi telah meluncurkan puluhan serangan rudal dan drone ke kapal-kapal komersial yang melintasi Laut Merah.

Houthi mengklaim mereka hanya membidik kapal-kapal milik atau menuju pelabuhan Israel. Serangan terhadap kapal-kapal tersebut merupakan bentuk dukungan Houthi terhadap perjuangan dan perlawanan Palestina.

Sejak Houthi aktif menyerang kapal-kapal di Laut Merah, sejumlah perusahaan kargo memutuskan untuk menghindari wilayah perairan tersebut. Perubahan jalur laut dengan menghindari pelayaran melintasi Laut Merah dapat menyebabkan penundaan pengiriman kargo dan memicu kenaikan ongkos pengiriman. Hal itu karena Laut Merah merupakan jalur terpendek antara Asia dan Eropa melalui Terusan Suez. Laut Merah adalah salah satu jalur laut yang paling sering digunakan di dunia untuk pengiriman minyak dan bahan bakar. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler