Lapisan Es Greenland Hilang Hingga 20 Persen Dampak dari Perubahan Iklim
Hampir seluruh gletser di Greenland mulai menipis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim telah menyebabkan lapisan es Greenland kehilangan 20 persen lebih banyak es daripada yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini merujuk pada studi terbaru yang menggunakan citra satelit untuk melacak hilangnya gletser selama empat dekade terakhir.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, para peneliti di Amerika Serikat mengumpulkan hampir 240 ribu gambar satelit dari posisi ujung gletser dari tahun 1985 hingga 2022.
"Hampir semua gletser di Greenland telah menipis atau hilang selama beberapa dekade terakhir. Tidak ada pengecualian, dan ini terjadi di mana-mana, secara bersamaan," kata Chad Greene, penulis utama studi sekaligus ahli glasiologi dari Jet Propulsion Laboratory NASA, seperti dilansir Phys, Kamis (18/1/2024).
Mereka menemukan bahwa lebih dari 1000 gigaton atau 20 persen es di sekitar tepi Greenland telah hilang selama empat dekade terakhir dan belum ditemukan. "Lapisan es Greenland telah kehilangan lebih banyak es dalam beberapa dekade terakhir daripada yang diperkirakan sebelumnya," kata Greene.
Karena es di tepi pulau sudah mencair, para penulis menekankan bahwa hal ini akan memiliki dampak langsung terhadap kenaikan permukaan air laut. Namun, hal ini dapat memicu pencairan es secara keseluruhan, sehingga gletser akan lebih mudah jatuh ke arah laut.
Para peneliti menemukan bahwa gletser Greenland yang paling rentan terhadap perubahan musim -mengembang di musim dingin dan menyusut di musim panas-, juga merupakan gletser yang paling sensitif terhadap dampak pemanasan global dan mengalami penyusutan yang paling signifikan sejak tahun 1985.
Mencairnya lapisan es terbesar kedua di dunia tersebut, diperkirakan berkontribusi lebih dari 20 persen terhadap kenaikan permukaan laut yang teramati sejak tahun 2002.
“Naiknya permukaan air laut mengancam banjir yang lebih parah di komunitas pesisir dan pulau yang menjadi rumah bagi ratusan juta orang, dan pada akhirnya dapat menenggelamkan seluruh negara kepulauan dan kota-kota di pinggir laut,” kata Greene.
Sementara itu, diketahui bahwa 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat dan suhu lautan secara terus menerus mengalami pemanasan. Menurut observatorium iklim Uni Eropa, Copernicus, Kutub Utara, yang memanas sekitar empat kali lebih cepat daripada bagian bumi lainnya, mengalami musim panas terpanas yang pernah ada pada tahun 2023, akibat percepatan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Pemanasan atmosfer dapat menyebabkan permukaan gletser mencair dan menetes ke bagian bawah lapisan es, sehingga lebih banyak es yang hilang. "Ini seperti menaruh air di antara ban dan jalan, dan es mulai meluncur begitu saja ke lautan," kata Greene.
Lautan yang lebih hangat, yang telah menyerap sekitar 90 persen dari kelebihan panas yang disebabkan oleh polusi karbon manusia, terkait dengan mencairnya lapisan es yang sangat penting yang menyangga lapisan es yang luas di Greenland dan Antartika.
Para peneliti juga menyuarakan keprihatinan tentang dampak potensial lainnya yakni gangguan arus laut dalam yang merupakan pendorong utama pola cuaca global. Mereka mengatakan bahwa banjir air tawar yang mencair ke lautan ini dapat mempengaruhi Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), sebuah sistem besar arus laut yang mengatur perpindahan panas global dari daerah tropis ke belahan bumi utara.
Sebuah konsorsium ilmuwan internasional tahun lalu memperingatkan bahwa perubahan AMOC dan mencairnya lapisan es merupakan titik kritis iklim yang memberikan ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi umat manusia.