Federasi Serikat Guru Nilai Arya Wedakarna Bisa Dilaporkan dengan UU ITE, Ini Alasannya

Sempat viral video Arya menegur guru SMKN 5 Denpasar, Bali, di depan siswa-siswanya.

Screenshot
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) menilai tindakan anggota DPD RI, Arya Wedakarna, yang viral ketika menegur guru yang menghukum anak muridnya di depan murid itu sendiri, dan membuat viral video rekamannya adalah perbuatan keliru. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk kekerasan psikis bagi guru yang bersangkutan, keluarganya, dan lembaga tempatnya bekerja. 

“FSGI menentang penyelesaian dengan cara merendahkan dan mempermalukan guru yang diduga pelaku karena hal tersebut juga bentuk kekerasan, sangat mungkin terdampak kekerasan psikis bagi guru yang bersangkutan, keluarganya dan juga lembaga tempat dia bekerja,” ucap Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti kepada Republika, Jumat (19/1/2024). 

Retno mengatakan, menegur guru terduga pelaku pemberi hukuman yang salah di depan umum, apalagi di depan murid-muridnya dan merekamnya kemudian viral adalah perbuatan yang tidak benar. Apa yang Arya lakukan itu merendahkan dan mempermalukan sesorang. FSGI menilai hal itu bisa masuk dalam kategori perbuatan tidak menyenangkan.

“Dan kalau sengaja disebarkan untuk kepentingan tertentu (pribadi), dan menimbulkan malu pada guru tersebut dan keluarga, bisa saja dilaporkan pelanggaran UU ITE. Hal tersebut juga bisa berdampak merugikan pada pihak sekolah dan keluarga besar SMKN tersebut akibat viralnya video itu,” kata dia.

Sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan AWK, sapaan Arya, menegur guru di SMKN 5 Denpasar, Bali, di depan siswa-siswanya. Dalam video tersebut, AWK tampak mengkritik keras guru tersebut karena memberikan hukuman yang dianggap berlebihan kepada siswa yang terlambat masuk kelas, yaitu menulis selama 1,5 jam. 

 

 

Nasib guru honorer - (Republika.co.id)

Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo menambahkan, niat baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik. Jika ada kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum guru, maka perlu didalami terlebih dahulu dan penyelesaiannya harus mendidik dan menimbulkan efek jera bagi terduga pelaku.

“Dalami apakah ada aturan sekolah yang memberikan sanksi peserta didik menulis selama 1,5 jam ketika berperilaku tidak tepat atau melanggar aturan tertentu di sekolah tersebut. Apakah ada pasal yang mengatur sanksi tersebut,” kata Heru. 

Jika kemudian ditemukan ada pasal yang mengatur akan hal tersebut, maka sang guru hanya menjalankan aturan dalam tata tertib sekolah. Itu berarti tindakan pemberian hukuman yang diberikan oleh guru tersebut merupakan sistem di sekolah itu, bukan merupakan ide atau inisiaatif pribadi guru terduga pelaku. 

Namun, apabila ternyata itu sistem sekolah, maka kepala sekolah dan manajemen sekolah yang harus bertanggungjawab merevisi aturan itu. AWK, kata dia, bisa memerintahkan dinas pendidikan setempat dan pihak sekolah untuk mengimplementasikan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPKSP). 

“Jika ternyata guru yang melakukan pemberian sanksi tersebut atas inisiatif pribadi maka guru tersebut harus bertanggung jawab. Tim PPK sekolah yang akan menangani guru itu, termasuk rekomendasi sanksi yang harus diberikan pada yang bersangkutan,” jelas Heru.

 

 

Ketua Tim Kajian Hukum FSGI Guntur Ismail menyatakan, jika hal itu memang merupakan inisiatif guru terduga pelaku, maka guru tersebut telah melakukan kekerasan terhadap anak dengan menghukum anak menulis selama 1,5 jam. Menurut Guntur, jika memang terbukti adanya inisiatif tersebut, maka jelas melanggar UU Perlindungan Anak dan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. 

“FSGI menentang segala bentuk kekerasan di pendidikan, termasuk kekerasan verbal dan kekerasan berbasis daring. FSGI menentang hukuman fisik kepada peserta didik  seperti hukuman menulis selama 1,5 jam, namun FSGI juga menentang penyelesaian dengan cara merendahkan dan mempermalukan guru,” jelas dia.

Aksi yang Arya lakukan dan direkam kemudian dibagikan di akun Instagram pribadinya itu mendapat respons kurang baik dari sejumlah pihak. Salah satunya aktivis Bali, Ni Luh Djelantik, turut menanggapi hal yang dilakukan Arya. Menurut dia, apa yang dilakukan Arya telah menghancurkan hatinya.

"Hancur hatiku menyaksikan martabat guru direndahkan sedemikian rupa," kata Ni Luh dalam akun Instagram pribadinya, Kamis (18/1/2024).

Ni Luh mengatakan jika hari ini kita mempermalukan orang lain, maka suatu saat kita harus siap dipermalukan. Ni Luh meminta agar berhati-hati kepada doa mereka yang direndahkan.

"Karena Tuhan tidak tidur. Karma tak pernah kehilangan alamat," kata Ni Luh.

"Sebelum ikut campur urusan rumah orang lain, sudahkah kamu mengecek rumahmu sendiri?" sindir Ni Luh.

Karikatur Opini Republika : Marketplace Guru - (Republika/Daan Yahya)

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler