Yakin Sholat Sudah Sah? Cek Syaratnya
Sebelum sholat, seseorang harus memenuhi persyaratan sahnya dalam syariat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Islam senantiasa berharap bahwa sholat yang didirikan dapat sah dan diterima Allah SWT. Maka untuk memastikan diri sah tidaknya sholat, maka seorang Muslim ditekankan untuk senantiasa memenuhi persyaratan sahnya sholat dalam syariat.
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab Minhajul Muslim menjabarkan syarat sah sholat sebagai berikut.
Pertama, suci dari hadas kecil yakni hadas yang mewajibkan wudhu. Dan suci dari hadas besar yaitu hadas yang mewajibkan mandi karena janabah; serta suci dari kotoran, yaitu najis. Baik pada pakaian, badan, maupun tempat shalat.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi, "Laa yaqbalullahu shalatan bighairi thuhurin.” Yang artinya, "Allah tidak menerima shalat (yang dilakukan) tanpa bersuci.”
Kedua, menutup aurat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran Surat Al-A'raf ayat 31:
يٰبَنِىۡۤ اٰدَمَ خُذُوۡا زِيۡنَتَكُمۡ عِنۡدَ كُلِّ مَسۡجِدٍ وَّكُلُوۡا وَاشۡرَبُوۡا وَلَا تُسۡرِفُوۡا ۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الۡمُسۡرِفِيۡنَ
“Yaa Banniii Adama khuzuu ziinatakum 'inda kulli masjidinw wa kuluu washrabuu wa laa tusrifuu; innahuu laa yuhibbul musrifiin.”
Yang artinya, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Sehingga sholat yang dilakukan dengan aurat yang terbuka dihukumi tidak sah. Karena pakaian yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah pakaian yang menutupi aurat. Maka pemenuhan syarat dalam hal menutup aurat wajib dilakukan.
Ketiga....
Ketiga, menghadap kiblat. Dengan demikian maka sholat yang dilakukan dengan menghadap ke arah selain kiblat dihukumi tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 144:
َدۡ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِى السَّمَآءِۚ فَلَـنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةً تَرۡضٰٮهَا ۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ الۡمَسۡجِدِ الۡحَـرَامِؕ وَحَيۡثُ مَا كُنۡتُمۡ فَوَلُّوۡا وُجُوۡهَكُمۡ شَطۡرَهٗ ؕ وَاِنَّ الَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡكِتٰبَ لَيَـعۡلَمُوۡنَ اَنَّهُ الۡحَـقُّ مِنۡ رَّبِّهِمۡؕ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُوۡنَ
“Qad nara taqallubaka wajhika fis-sama', fa lanuwalliyannaka qiblatan tardaha, fawalli wajhaka syatral-masjidil-haram, wa haisuma kuntum fawallu wujuhakum syatrah, wa innal-lazina utul-kitaba layalamuna annahul-haqqu mir rabbihim, wa mallahu bigafilin amma yamalun.”
Yang artinya, “Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa (pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.”
Menghadap kiblat yaitu mengarah ke Masjidil Haram (Ka'bah). Kecuali bagi orang yang tidak dapat menghadap ke arahnya karena alasan takut atau sakit, dan lainnya. Sehingga dalam kondisi tersebut, gugur darinya persyaratan tersebut karena ketidakmampuannya.
Dalam buku Shalat Orang Sakit karya Ustaz Ahmad Sarwat dijelaskan, seseorang yang sedang sakit sehingga tidak mampu berdiri atau duduk maka ia tetap wajib sholat dengan menghadap ke kiblat. Namun caranya diperbolehkan agak berbeda-beda sebagaimana yang dijelaskan para ulama.
Sebagian ulama mengatakan bahwa cara menghadap kiblat bagi shalatnya orang sakit adalah dengan berbaring miring, posisi bagian kanan tubuhnya ada di bawah, dan bagian kiri tubuhnya di atas. Mirip posisinya mayat yang masuk ke liang lahad.
Dalilnya karena dalam pandangan ulama ini, yang dimaksud dengan menghadap kiblat diharuskan dada dan bukan wajah. Maka intinya adalah bagaimana dada itu bisa menghadap kiblat, caranya adalah dengan shalat posisi miring.
Dalil lainnya berdasarkan....
Dalil lainnya berdasarkan sabda Nabi yang memerintahkan sholat di atas lambung, “Kaanat bi biwasiru fasaalat Rasulallahi SAW faqaala: Shala qaaiman fa in lam tastathi’ faqaa’idan fa in lam tastathi’ fa’ala janbika.”
Yang artinya: “Dari Imran bin Husain dia berkata: aku menderita wasir lalu aku bertanya kepada Rasulullah SAW. Beliau pun bersabda: shalatlah sambil berdiri, kalau tidak bisa, maka shalatlah sambil duduk, kalau tidak bisa, maka shalatlah di atas lambungmu.”
Namun sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menghadap kiblat adalah kaki. Asalkan kakinya sudah menghadap kiblat, maka dianggap posisi badannya sudah memenuhi syarat.