Debat Cawapres, Pakar Ekonomi: Kok, Menganggap Greenflation Hal Receh?

Dianggap receh karena tidak paham soal transisi ke ekonomi hijau.

dok. Republika
Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan, greenflation bukanlah sebuah istilah jebakan dalam debat. (ilustrasi)
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, mengatakan, greenflation bukanlah sebuah istilah jebakan dalam debat, apalagi sebuah konsep receh-receh. 

Baca Juga


Menurut Dradjad, orang yang menganggap greenflation sebagai hal receh, menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap transisi ke ekonomi hijau, termasuk ke energi bersih dan penerapan praktik kelestarian.

“Tidak paham tantangan dan hambatan apa saja yang membuat transisi tersebut sangat lambat di dunia. Tidak paham risiko politik, bahkan gejolak sosial yang bisa muncul akibat transisi tersebut,” kata Dradjad, Senin (22/1/2024). 

Dijelaskannya, greenflation adalah istilah zaman now yang makin sering dipakai ilmuwan, pegiat, pebisnis, bahkan politikus yang terlibat dalam urusan kelestarian atau keberlanjutan (sustainability). “Dipakai mereka yang terlibat dalam urusan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata ekonom senior INDEF ini. 

Secara sederhana, lanjut Dradjad, greenflation atau inflasi hijau merujuk pada kenaikan harga sebagai akibat dari mahalnya biaya transisi di atas. Dengan kata lain, inflasi hijau merupakan salah satu bentuk cost-push inflation.

Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Ahad (21/1/2024). Debat Keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa - (Republika/Prayogi)

Sebagai contoh, Indonesia merupakan negara dengan sumber daya panas bumi terbesar kedua di dunia, setelah Amerika Serikat. “Potensi panas bumi kita setara 23.966 megawatt (MW). Saat ini kita baru memanfaatkan 2.343 MW, atau hanya sekitar 9,8 persen dari potensi tersebut,” papar Dradjad yang juga Ketua Umum IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) ini. 

Menurut Dradjad, hambatan terbesarnya adalah biaya. Beban biaya PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) per kilowatt hour (kwh) itu sekitar 50 persen lebih mahal dari PLTU batu bara. Bahkan dalam berbagai estimasi lainnya, biayanya bisa dua kali lipat lebih. 

Jika Indonesia melakukan pensiun dini terhadap penggunaan semua PLTU batu bara, dan menggantinya ke PLTP. Dalam kondisi biaya saat ini, biaya listrik nasional akan naik minimal 50 persen. Karena hampir semua aktivitas memerlukan listrik, bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Harga-harga melonjak drastis.

“Hampir semua pelaku bisnis dipastikan menjerit. Bukan hanya itu, rakyat bisa marah. Itu semua akibat greenflation,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini. 

Contoh lain greenflation ...

 

Contoh lain, banyak negara sekarang menerapkan standar kelestarian yang ketat bagi dunia usaha. Biaya pemenuhan standar ini juga cukup mahal dan menimbulkan inflasi hijau. Demikian juga, dengan pajak karbon dan berbagai inisiatif lainnya. 

Jadi, inflasi hijau itu tempatnya di jantung dari topik kelestarian, transisi ke ekonomi hijau, serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebuah tantangan yang harus dicarikan solusinya segera karena transisi di atas adalah keniscayaan. Bukan sebuah istilah receh-receh.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler