Anak Guru Ngaji Lulus Doktor di UGM dengan IPK 4,00

Ngainul mengaku senang berhasil menyelesaikan doktor dengan predikat IPK tertinggi.

Wahyu Suryana.
Kampus UGM.
Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Mukhamad Ngainul Malawani (31) menjadi salah satu di antara 836 lulusan program pascasarjana UGM yang diwisuda pada hari Rabu (24/1/2023) kemarin di Grha Sabha Pramana. Ngainul, demikian ia akrab disapa, berhasil meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi 4,00 sekaligus berpredikat Pujian.

Baca Juga


Tidak hanya sampai di situ, ia juga dinobatkan sebagai wisudawan dengan predikat lulusan tercepat karena berhasil meraih Doktor dalam waktu 2 tahun 8 bulan 17 hari. Padahal  masa studi rata-rata jenjang program S3 adalah 4 tahun 9 bulan.  

Dihubungi oleh wartawan, Kamis (25/1/2023), Ngainul mengaku senang berhasil menyelesaikan doktor dengan predikat IPK tertinggi dan menjadi lulusan tercepat. Yang menarik, Ngainul tidak hanya berhasil menyelesaikan studi doktor namun juga menyelesaikan pendidikan doktor di dua kampus yang berbeda yakni di Prodi S3 Ilmu Geografi UGM dan pendidikan doktor di University of Paris 1 Panthéon-Sorbonne.

"Sebenarnya saya ambil kuliah di dua tempat. Di UGM terdaftar Januari 2021. Di Perancis compulsory course telah selesai pada tahun pertama, jadi tinggal melanjutkan riset. Karena tahun 2021 juga masih suasana pandemi, kuliah di UGM pun semua dijalankan online tanpa harus saya pulang ke Indonesia," katanya. 

Pria yang bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Geografi UGM sejak tahun 2018 itu pun bercerita ia lulus S1 Geografi Lingkungan UGM tahun 2014. Selanjutnya melanjutkan pendidikan S2 Magister Geografi UGM Lulus 2017. Kemudian karena diterima menjadi tenaga pendidik di UGM, ia pun melanjutkan studi di Prancis November 2019. "Di sana saya mengambil program join supervision, agar dapat dibimbing oleh supervisor dari Prancis dan Indonesia," kenangnya.

Beruntung bagi Ngainul, adanya kerja sama UGM dengan Univ Paris 1 Panthéon-Sorbonne lalu dilanjutkan kerja sama Fakultas Geografi UGM dengan Ecole Doctorale Geographie de Paris yang salah satunya adalah terkait pembukaan program double degree untuk jenjang doktor.  "Kebetulan saya jadi mahasiswa disana dan terjalinnya hubungan baik yg sudah sangat lama antar kedua institusi, maka MoU dan Agreement dicoba untuk dijalankan," jelasnya.

Dalam menjalankan kuliah di dua kampus yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, Ngainul mengaku sempat mengalami kesulitan saat perkuliahan di awal, namun berkat bimbingan dari dua mentornya, ia pun bisa menyelesaikan Pendidikan S3 dengan tepat waktu. "Berkat supervisi Prof Franck Lavigne dan Dr Danang Sri Hadmoko, riset saya cepat selesai. Selain dukungan akademis, para supervisor juga memberikan dukungan finansial riset karena penelitian dilakukan di Lombok," paparnya.

Nginul lahir dan besar di Palbapang, Bantul, Yogyakarta. Ayah dan Ibunya menjadi guru mengaji di kampungnya.  Selain itu, keluarganya juga ikut beternak dan bertani. "Kedua orang tua saya guru ngaji di kampung. Ada surau kecil di samping rumah. Banyak anak-anak yang belajar di tempat kami ketika sore dan malam hari," kenangnya.

Didikan orang tuanya yang begitu kuat dalam hal agama dan terbiasa hidup sederhana selalu memotivasi dirinya untuk bisa menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ngainul bersyukur  berkat bimbingan dan doa dari kedua orang tua akhirnya ia bisa menyelesaikan Pendidikan S3 sekarang ini.  

Di samping itu, Ngainul juga mengaku dukungan keluarga kecilnya juga selalu memberi dukungan padanya meski istri dan anaknya tidak bisa mendampingi dirinya selama studi di Perancis. :Saya berkeluarga sejak 2017. Anak pertama lahir 2019, sebulan sebelum saya berangkat ke Prancis. Keluarga saya tidak ikut saya selama studi, kecuali saat ujian pendadaran saja mereka hadir ke Perancis," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler