Menyudahi Konflik Palestina-Israel dengan Solusi Dua Negara, Realistiskah? (Bagian II)
Sejumlah warga Palestina yakin Israel tak akan memberikan kedaulatan bagi Palestina.
YERUSALEM – Solusi dua negara untuk menyudahi konflik Palestina-Israel dalam beberapa waktu terakhir ini kembali digaungkan. Terutama dalam merespons serangan Israel ke Gaza yang dalam tiga bulan terakhir menyebabkan 25 ribu warga sipil Palestina meninggal dunia.
Amerika Serikat (AS) menyatakan tak ada cara untuk menyelesaikan isu keamanan Israel dan mengatasi tantangan membangun kembali Gaza tanpa adanya negara Palestina merdeka. Demikian pula Uni Eropa yang mendorong terwujudnya negara Palestina merdeka.
Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak kedaulatan Palestina. Ia menegaskan tak berkompromi atas kendali penuh keamanan Yordan barat dan sikap ini bertentangan dengan pendirian negara Palestina merdeka.
Seberapa Besar Hambatannya?
Hambatan mewujudkan solusi dua negara berkembang seiring berjalannya waktu. Meski Israel menarik pemukim dan tentaranya dari Gaza pada 2005, permukiman Yahudi muncul di mana-mana. Ini membuat Palestina pesimistis mengenai prospek solusi dua negara.
Organisasi nirlaba Israel, Peace Now menyatakan pada September 2023 pemukim Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, jumlahnya kian melonjak dari 250 ribu orang pada 1993 menjadi 695 ribu orang dalam kurun tiga dekade kemudian.
Selama intifada kedua, Israel membangun yang secara tertulis disebut pembatas untuk menghentikan serangan. Namun, dalam kenyataannya itu merupakan perampasan lahan. Presiden Palestina Mahmud Abbas mengelola wilayah Tepi Barat.
Wilayah itu diselimuti sebuah zona yang dikontrol Israel yang terdiri atas 60 persen dari wilayah itu, termasuk perbatasan Yordania dan area permukiman yang diatur dalam Kesepakatan Oslo. Di zona yang dikenal dengan Area C, Israel memiliki kendali penuh.
Otoritas Palestina mengelola urusan warga sipil dan keamanan internal pada sebuah zona yang disebut dengan Area A. Mencakup seperlima wilayah dan termasuk kota-kota utama Palestina. Seperlima sisanya, Area B, urusan sipil ditangani Palestina, tetapi keamanannya oleh Israel.
Israel melakukan penyergapan di... (buka halaman 2)
Israel melakukan penyergapan di pusat-pusat urban Palestina termasuk Ramallah, pusat operasi Otoritas Palestina, selama perang melawan Hamas di Gaza. Isu politik juga membuat persoalan solusi dua negara ini semakin pelik.
Pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berhaluan paling kanan dalam sejarah Israel juga nasionalis yang memperoleh dukungan para pemukim ilegal. Hamas memenangkan Pemilu 2006 dan setahun kemudian mendesak pasukan yang loyal ke Abbas keluar Gaza.
Piagam pendirian Hamas 1988 menyerukan penghancuran dan menolak Israel. Para pemimpin Hamas beberapa kali menawarkan perdamaian jangka panjang, balasannya negara Palestina di semua wilayah yang diduduki Israel pada 1967. Israel menolak mentah-mentah.
Pada 2017, sebuah dokumen yang dikeluarkan Hamas menyatakan sepakat transisi negara Palestina dengan batas-batas sebelum Perang 1967. Meski begitu, mereka tetap menegaskan penolakan terhadap eksistensi Israel.
Bagaimana ke Depannya?
Persoalan Gaza merupakan pertanyaan yang mesti segera dijawab. Israel berambisi melenyapkan Hamas dan menyatakan tak akan menerima kesepakatan apa pun yang membuat Hamas masih memegang kekuasaan di Gaza.
Netanyahu menyatakan Gaza harus dimiliterisasi dan berada sepenuhnya dalam kendali keamanan Israel. Ia menambahkan, Israel tak ingin mengendalikan pemerintahan di Gaza atau membangun kembali permukiman di sana.
Sebaliknya, Hamas bertekad untuk bertahan dan menilai kesepakatan apa pun yang mengeluarkan mereka dari Gaza merupakan ilusi. Hamas siap berunding dengan faksi Fatah yang dipimpin Abbas untuk membentuk pemerintahan bersatu. Serangkaian perundingan gagal.
Washington yang menganggap Hamas sebagai kelompok teroris, menginginkan Gaza dan Tepi Barat terhubung di bawah pemerintahan Otoritas Palestina yang kini presidennya Abbas.
Di sisi lain, Netanyahu bersikeras... (buka halaman 3)
Di sisi lain, Netanyahu bersikeras tetap akan memiliki kendali penuh keamanan bagian barat Sungai Yordania. Posisi yang ia katakan mencegah berdirinya negara Palestina yang kelak bisa menjadi bahaya bagi Israel.
Dalam autobiografinya tahun 2022, Netanyahu menyampaikan ide terkait aspirasi Palestina, termasuk bandara bagi warga Palestina yang bisa dibangun di Yordania atau tempat mana pun.
Ia mengubah pendekatan dari "territorial continuity" di area Palestina menjadi "transportational continuity" dengan melengkapinya dengan dok, jaringan kereta api, jalan layang, dan underpass yang membuat warga Palestina bebas bergerak.
Juru bicara Abbas menyatakan pernyataan Netanyahu beberapa waktu terakhir menunjukkan Israel tak tertarik menciptakan perdamaian dan kestabilitasan. Petinggi Hamas, Usamah Hamdan pada 22 Januari lalu menyatakan tujuannya hanya negara berdaulat beribu kota Yerusalem.
Adakah Jalan Alternatif?
Seiring ide solusi dua negara meremang, pembicaraan solusi satu negara mencuat. Sejumlah warga Palestina yakin Israel tak akan memberikan kedaulatan bagi Palestina. Maka perlu perjuangan merebut hak sah.
Yakni mendirikan negara tunggal, Palestina, yang membentang dari wilayah Israel saat ini dan wilayah yang diduduki mereka setelah perang pada 1967. Sejumlah kritik bermunculan yang menyebut ide itu tak realistis.
Alasannya, faksi utama Palestina tak mendukungnya dan Israel tak akan pernah menerima ide yang menggoyang eksistensinya sebagai negara Yahudi. Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pidato 23 Januari 2024 menyatakan solusi dua negara masih satu-satunya cara.
Ia mengkritik keras Israel yang berkali-kali menolak solusi dua negara. ‘’Penolakan terhadap hak warga Palestina atas sebuah negara akan memicu konflik terus berlangsung. Jadi penghalang perdamaian dunia,’’ katanya. (reuters/han)