Saatnya Timnas Indonesia Naik Kelas
Timnas Indonesia akan makin tangguh dengan sejumlah perbaikan ke depan.
Oleh: Israr Itah, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Perjalanan timnas Indonesia di Piala Asia 2023 terhenti pada putaran pertama babak gugur. Indonesia harus mengakui keunggulan Australia dengan kebobolan empat gol tanpa balas.
Kecewa? Pasti. Sedih? Tidak juga. Itu yang saya rasakan, yang mungkin juga dirasakan oleh mayoritas pecinta sepak bola Indonesia.
Alasannya jelas, dari segi hasil pastilah mengecewakan. Kita lolos hanya dengan satu kemenangan dan dua kali tumbang di babak penyisihan. Kelolosan Indonesia juga harus menantikan "bantuan" dari Kirgistan. Kemudian setelah di babak gugur, gawang kita diberondong empat kali tanpa bisa membalas.
Itu kalau kita hanya melihat hasil akhir. Namun jika melihat performa di lapangan, kita harusnya bisa tersenyum dan menyimpan optimisme bahwa timnas kita akan naik kelas. Apalagi melihat fakta bahwa kita berstatus sebagai tim dengan skuad termuda dengan rerata usia 22,5 tahun.
Ada ruang untuk perbaikan. Berlaga di Piala Asia 2023 menunjukkan kekurangan-kekurangan yang bisa diperbaiki dan dicari jalan keluarnya demi hasil yang lebih positif.
Bila kita flashback dari laga awal, Irak menunjukkan dalam dua gol awal perihal kurangnya ketenangan dan kekeliruan mengambil keputusan dari para pemain belakang ketika diserang. Sementara untuk gol ketiga, kita paham bahwa power dan kecerdikan dalam duel udara satu lawan satu amatlah penting jika tak ingin gawang kita jadi lumbung gol.
Melawan Vietnam, kita dinaungi keberuntungan karena beberapa kesalahan di belakang tak bisa dimaksimalkan lawan. Sementara kontra Jepang, kita juga sadar kesalahan individual sekecil apa pun bisa merugikan. Dari laga kontra Jepang, juga Irak, kita mengetahui transisi negatif kita, dari menyerang ke bertahan, rentan dieksploitasi lawan yang punya kecepatan dan akurasi operan prima.
Umpan-umpan silang masih jadi masalah buat lini belakang kita. Dua gol Australia di babak gugur tercipta dari sini, lewat open play dan situasi bola mati.
Dari sisi ofensif dengan line up yang ada saat ini, skuad Garuda sekarang bisa membangun serangan yang mengancam dari bawah dengan kombinasi operan-operan pendek dan panjang. Rafael Struick sangat bisa diandalkan untuk memproteksi bola atau sebagai pemantul.
Sayangnya, setelah sampai di sepertiga akhir, keputusan yang diambil tak maksimal. Baik dalam timing dan kualitas operan, atau keputusan tidak mengoper. Juga, tentu saja, penyelesaian akhir.
Kelemahan-kelemahan di atas sangat terlihat ketika melawan Australia. Ada setengah peluang dari Yakob Sayuri, Justin Hubner, dan Marselino Ferdinan. Dua melambung jauh, sementara satu dengan mudah ditangkap kiper Australia. Rafael Struick juga punya kesempatan, tapi belum bisa memaksimalkannya.
Ferdinand punya satu peluang melepaskan rekannya yang masuk ke kotak penalti tanpa kawalan, tapi operannya terlalu deras. Atau passing dari Ivar Jenner saat transisi serangan balik. Namun bolanya terlalu deras dan ke dalam, tak membelok ke luar mencari rekannya yang sudah berlari dari sisi sayap.
Selepas...
Selepas kekalahan dari Australia, pelatih Shin Tae-yong menilai pengalaman bermain di laga berkualitas menjadi pembeda timnya dengan lawan. Di mata Shin, skuad Garuda kalah dalam level pengalaman dan konsentrasi.
Saya sangat setuju dengan pernyataan ini. Masih teringat performa Qatar dalam tiga laga penyisihan grup di Piala Dunia 2022 lalu. Qatar yang baru sekali tampil di Piala Dunia tampak demam panggung. Tim yang dibangun dengan biaya besar selama sekitar delapan tahun gagal memetik hasil manis.
Mereka gugup di lini belakang dan membuang peluang di depan. Mirip Indonesia di Piala Asia 2023. Padahal secara kualitas, Qatar seharusnya bisa meraih hasil yang lebih bagus lagi ketika bergabung di Grup A bersama Belanda, Senegal, dan Ekuador di Piala Dunia lalu.
Namun saat tampil di Piala Asia setahun berselang, Qatar superior di penyisihan grup dengan melakukan sapu bersih. Jika terus menampilkan performa serupa, Qatar bisa saja mempertahankan trofi yang mereka raih pada 2019 lalu.
Namun terlepas dari itu perkara jam terbang, pasti masih banyak potensi yang bisa dimaksimalkan oleh Shin, andai ia terus dipercaya melatih timnas kita. Misalnya skema bola mati, baik dari tendangan bebas atau sepak pojok. Indonesia mendapatkan sembilan tendangan sudut semasa fase grup serta satu lawan Australia yang tak satu pun bisa dimaksimalkan menjadi gol.
Juga lewat lemparan ke dalam. Kita mendapatkan satu gol melawan Jepang dari situasi ini, yang ke depan harusnya bisa dioptimalkan.
Inggris jadi tim yang menakutkan di dunia setelah Gareth Southgate fokus memperbaiki situasi bola mati ini. Pada Piala Dunia 2018, Inggris mencapai semifinal berkat delapan gol dari situasi bola mati.
Dari Piala Asia 2023, saya melihat kita punya kapasitas bermain sebagai tim ofensif atau mengandalkan shape bertahan solid untuk melancarkan serangan balik mematikan. Pelatih akan lebih mudah menentukan bermain dengan cara apa melawan tim mana bila semua kekurangan di atas bisa diperbaiki.
Tak sabar rasanya menantikan aksi-aksi timnas berikutnya dengan performa lebih ciamik dan hasil akhir yang lebih memuaskan. Ada kualifikasi Piala Dunia 2024 dan juga Piala Asia U-23 di depan mata. Separuh skuad saat ini bisa berlaga di kejuaraan kelompok usia tersebut pada April, andai diizinkan klub-klubnya.
Oh ya, Shin juga harus memikirkan membangun tim lapis kedua yang tak jomplang dengan skuad utama. Sebab, ada peluang para pemain yang merumput di luar tak bisa dengan mudah bergabung di kejuaraan di luar kalender FIFA. Kita tahu, ada sejumlah turnamen untuk timnas kita, senior atau kelompok umur, yang berlangsung di luar kalender FIFA.
Berat. Tapi, seperti Dilan, saya yakin Shin kuat.