Alasan Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Stagnan Menurut TII
Skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun ini 34, sama dengan tahun lalu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia untuk periode 2023. Hasilnya, skor IPK Indonesia berada di angka 34.
IPK di Indonesia duduk di level 34 pada 2022. Alhasil, skor IPK Indonesia di tahun ini tidak berubah. Namun parahnya, peringkat Indonesia dalam IPK global turun.
"IPK Indonesia tahun 2023 berada di-skor 34 dari 100 poin dan berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini 34 ini sama dengan skor IPK 2022 lalu," kata Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko dalam paparannya pada Selasa (30/1/2024).
Wawan memerinci, dari delapan indikator komposit pada IPK 2023, satu sumber data mengalami penurunan dibanding temuan tahun sebelumnya, yaitu PRS yang merosot 3 poin. Jika ditarik lebih jauh maka terjadi penurunan sebesar 16 poin dalam dua tahun terakhir.
Sedangkan empat sumber data mengalami stagnasi, yakni Global Insight, World Justice Project – Rule of Law Index, PERC Asia Risk Guide dan Economist Intelligence Unit.
"Tiga sumber data mengalami kenaikan yakni Bertelsmann Transformation Index (+3), IMD World Competitiveness Yearbook (+1) dan Varieties of Democracy Project (VDem) (+1)," ujar Wawan.
Dalam lima tahun terakhir terpotret, bahwa IPK Indonesia mengalami kecenderungan turun. Pada 2019 dengan skor 40 dan kemudian terjun bebas menjadi 34 pada tahun 2022 lalu. Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko menilai demokrasi Indonesia sedang berjalan mundur secara cepat.
"Langkah mundur itu serentak dengan rendahnya pemberantasan korupsi dan perlindungan HAM di Tanah Air. Padahal, tanpa penegakan korupsi yang mumpuni, perlindungan HAM sejati tidak akan diraih," ujar Danang.
Danang memandang stagnasi skor IPK tahun 2023 memperlihatkan respons terhadap praktik korupsi masih cenderung berjalan lambat. Bahkan, menurutnya terus memburuk akibat minimnya dukungan yang nyata dari para pemangku kepentingan.
"Kecenderungan abai pada pemberantasan korupsi ini semakin nyata dan terkonfirmasi sejak pelemahan KPK, perubahan UU MK dan munculnya berbagai regulasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai integritas, serta tutup mata terhadap berbagai praktik konflik kepentingan," ujar Danang.
Singapura menjadi negara dengan IPK tertinggi di Asia Tenggara pada 2023 dengan skor 83. Sedangkan Malaysia mendapat skor 47 pada 2023. Adapun Myanmar terendah di Asia Tenggara dengan skor 20 di 2023.
Tercatat, skor IPK Indonesia sempai mencapai skor tertinggi yaitu 40 pada 2019. Ini merupakan perolehan tertinggi di era reformasi. Namun prestasi ini tidak lama karena setahun berselang terjun bebas ke angka 37. IPK Indonesia hanya sempat naik satu level menjadi 38 pada 2021. Kemudian turun lagi ke posisi 34 pada 2022.
Indeks Persepsi Korupsi merupakan indikator komposit yang diterbitkan oleh transparency international sejak 1995. Indeks ini mengkalkulasi korupsi sektor publik ini berdasarkan persepsi pengusaha dan penilaian ahli. Indeks ini mengukur 180 negara yang disurvei termasuk Indonesia. Skornya mulai dari 0 sampai 100 dimana semakin tinggu skornya maka semakin tidak korup negara tersebut.
Empat rekomendasi
TII menyebutkan empat rekomendasi guna memperbaiki temuan ini di tahun berikutnya. Pertama, di sektor politik dan pemilu, TII merekomendasikan Presiden dan Pemerintah, DPR dan Partai Politik, Lembaga Penyelenggara dan Pengawasan Pemilu, serta Lembaga Penegakan Hukum menjamin berjalannya Pemilu secara jujur, adil dan berintegritas.
Kedua, di sektor peradilan dan penegakan hukum, TII mendorong Badan peradilan yang independen mutlak diperlukan. "Sistem peradilan dan penegakan hukum yang bebas dari campur tangan cabang kekuasaan lain, sumber daya dan transparansi yang diperlukan untuk secara efektif menghukum semua pelanggaran korupsi dan memberikan pengawasan dan keseimbangan kekuasaan," ujar Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko.
Ketiga, di sektor ekonomi dan bisnis, TII merekomendasikan perbaikan iklim usaha dan berbisnis yang harus berorientasi pada pencapaian kesejahteraan warga. Danang berharap pemberantasan korupsi di sektor bisnis bukan sekadar lips service.
"Kondisi demikian yang hanya mendatangkan investasi yang tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial," ujar Danang.
Terakhir, terkait kebebasan dan hak sipil, TII merekomendasikan pemerintah dan penegak hukum harus menjamin aspirasi masyarakat, jurnalis, akademisi. "Jangan melakukan kriminalisasi terhadap warga negara yang menyampaikan perbedaan pandangan yang berseberangan dengan Pemerintah," ujar Danang.