Stasiun Televisi dari Kuda Laut itu Sudah Berusia 50 Tahun
50 Tahun lalu masyarakat di Palembang untuk bisa menonton siaran TVRI Jakarta harus memasang antene yang tingginya bisa mencapai 25 meter.
KINGDOMSRIWIJAYA – Sekitar 50 tahun lalu, pada Oktober 1973 di Palembang mulai ada toko yang berjualan pesawat televisi. Waktu itu ada empat toko yang menjual pesawat televisi menjelang peresmian stasiun televisi pertama di Palembang ibu kota Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).
Pada bulan Agustus 1973 stasiun televisi tersebut sudah mulai melakukan siaran percobaan menjelang diresmikan, direncanakan pada bulan Desember 1973 oleh Menteri Penerangan saat itu Budiardjo. Stasiun televisi itu bernama TV Palembang. Sambil menanti timbang terima dengan Direktur Jendral Radio, Film (RTF) dan TV Palembang sudah siaran percobaan dua kali sepekan.
Stasiun TV Palembang tersebut pada 31 Januari 2024 telah berumur 50 tahun. Stasiun televisi itu kini bernama resmi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Sumatera Selatan.
Dalam sejarahnya TVRI Sumsel yang sudah berusia 50 tahun bukan dibangun dengan dibiayai Departemen Penerangan (Deppen) yang saat itu membawahi stasiun televisi milik negara, salah satunya TVRI Jakarta yang sudah mulai siarannya pada 24 Agustus 1962.
TV Palembang 50 tahun lalu dibangun oleh perusahaan negara berlogo kuda laut bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumsel. Perusahaan tersebut adalah perusahaan minyak yakni Pertamina. Kolaborasi antara Pertamina dan Pemda Sumsel berhasil membangun stasiun televisi di Palembang yang menggunakan peralatan Siemens dari Jerman 50 tahun lalu.
50 Tahun lalu masyarakat di Palembang untuk bisa menonton siaran televisi yang satu-satunya ada di Indonesia yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jakarta harus memasang antene yang tingginya bisa mencapai 25 meter. Ternyata biaya pemasangan antene tersebut mencapai Rp80.000 atau lebih mahal dari harga TV 17 inci. Sudah dipasang, tayangannya tetap tidak maksimal untuk ditonton, masih banyak “hujannya” atau “banyak semutnya”.
Pada masa itu setiap pemilik TV harus mendaftarkan pesawat televisinya ke pemerintah setempat yaitu Pemerintah Kodya Palembang. Zaman itu, kepemilian pesawat televisi dan juga radio dikenakan pajak atau retribusi. Bagi generasi baby boomers tidak asing dengan istilah “pajak radio” dan “pajak televisi”.
Kini stasiun televisi yang dulu pada awal siarannya selalu menampilkan logo kuda laut tersebut, tahun 2024 sudah berusia 50 tahun atau tahun emas. Namanya pun telah mengalami beberapa kali perubahan, awalnya TV Palembang lalu menjadi TVRI Palembang kini menggunakan nama TVRI Sumatera Selatan atau TVRI Sumsel. Lengkapnya “Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia Stasiun Sumatera Selatan” yang beralamat di Jalan Balap Sepeda No.1 Palembang.
Televisi Publik
Dalam UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada Pasal 13 mengatur tentang lembaga penyiaran publik, yaitu lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, nteral, tidak komersial dan berfungsi memberikan pelayanan untuk masyarakat. Lembaga Penyiaran Publik (LPP) tersebut adalah Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).
TVRI sendiri berdiri pada 24 Agustus 1962 dengan status Yayasan TVRI yang bertanggungjawab pada Departemen Penerangan (Deppen). Dalam dinamikanya TVRI juga pernah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan) dan Perseroan Terbatas (PT) dan pada akhirnya menjadi LPP TVRI sampai sekarang.
Sesuai ketentuan yang ada maka TVRI sebagai stasiun publik harus mampu menyajikan tayangan yang bermanfaat bagi masyarakat bukan hanya berorientasi pada keuntungan semata. Program acara TVRI bermuatan edukasi, informasi, serta entertaiment. Juga ada program acara impor dan lokal, program acara kerjasama serta program live.
TVRI adalah LPP, definisi LPP menurut Effendi Gazali dalam “Penyiaran Alternatif, tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas” (2002) adalah lembaga penyiaran yang mempunyai visi untuk memperbaiki kualitas kehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas hubungan antarbangsa pada umumnya.
LPP mempunyai misi untuk menjadi forum diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik. Menurut Gazali, lembaga penyiaran publik memberikan pengakuan secara signifikan terhadap peran supervisi dan evaluasi oleh publik dalam posisinya sebagai khalayak dan partisipan yang aktif, karena itu lembaga penyiaran publik bukanlah lembaga penyiaran pemerintah serta bukan pula lembaga penyiaran yang semata-mata mendasarkan dirinya pada hukum-hukum pasar.
Di dunia, mengutip Salvatore Simarmata dalam “Media Baru, Ruang Publik Baru, dan Transformasi Komunikasi Politik di Indonesia” (2014), pada tingkat makro terdapat dua model pengaturan media, khususnya media penyiaran, yaitu: public service model dan commercial model, seperti yang ada di Inggris dan Amerika Serikat.
Pembeda yang paling utama antara keduanya adalah: public service broadcasting lebih fokus pada berita dan isu-isu publik, features, dokumenter, art, musik, permainan, sementara commercial broadcasting lebih menekankan hiburan. Pada intinya, sistem penyiaran publik lebih menyediakan kesempatan bagi tumbuhnya demokratisasi lewat fungsi media.
Contoh yang paling baik untuk kategori ini adalah BBC di Inggris. Sejak kelahiran BBC tahun 1920-an, pemerintahan Inggris telah memutuskan bahwa media penyiaran merupakan bagian dari fasilitas publik (public utility) yang harus dijaga oleh negara guna mewujudkan kepentingan umum. BBC diberi monopoli penyiaran dan independensi politik dan finansial dari pemerintah, dengan cara memberlakukan pemberian izin siaran tiap tahun kepada semua penyiaran radio dan televisi untuk menopang BBC.
Di Indonesia dalam UU Penyiaran Pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Kemudian pada Pasal 4 PP No. 13 Tahun 2005 secara khusus menyebutkan tugas TVRI adalah sebagai berikut: TVRI mempunyai tugas memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TVRI & TV Swasta
Menurut Puji Rianto dan Intania Poerwaningtias dalam “TV Publik dan Lokalitas Budaya: Urgensinya di Tengah Dominasi TV Swasta Jakarta” (2013) TVRI sebagai LPP visinya tentu berbeda dengan televisi swasta. LPP menciptakan program yang mempunyai nilai edukasi dan budaya yang tinggi, sedangkan televisi swasta memburu rating dan keuntungan.
Lembaga Penyiaran Publik juga tidak bergantung pada iklan karena dana disediakan oleh negara (atau bisa juga license fee) sehingga lembaga penyiaran publik lebih bisa diandalkan sebagai sumber informasi.
“Dalam konteks Indonesia, LPP seyogianya menjadi penyeimbang lembaga penyiaran swasta yang sangat komersial. Dengan demikian, budaya populer yang berkembang tidak semata budaya pasar, tapi juga budaya yang mempunyai ‘nilai pencerahan’”, tulis Puji Rianto dan Intania Poerwaningtias.
Kehadiran TVRI sebagai LPP di Indonesia yang demokratis sangat diperlukan seperti argumentasi Sasa Djuarsa Sendjaja dalam “Badan Hukum TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik”, (2006), ada empat alasan mengenai pentingnya lembaga penyiaran publik dalam sistem demokrasi.
Pertama, dalam konteks kehidupan demokrasi dan penguatan masyarakat sipil, publik berhak mendapatkan siaran yang lebih mencerdaskan, lebih mengisi kepala dengan sesuatu yang lebih bermakna dibandingkan sekadar menjual kepala kepada pemasang iklan melalui logika rating.
Kedua, warga berhak memperoleh siaran yang mencerdaskan tanpa adanya batasan geografis, lebih-lebih sosio-politis. Lembaga penyiaran swasta akan selalu berpikir dalam kerangka besaran jumlah penduduk dan potensi ekonomi untuk membuka jaringannya sehingga daerah-daerah yang miskin dan secara ekonomi tidak menguntungkan tidak akan mendapatkan layanan siaran swasta.
Ketiga, penyiaran publik merupakan entitas penyiaran yang memiliki concern lebih terhadap identitas dan kultur nasional. Keberadaan lembaga penyiaran publik penting dalam rangka menjaga identitas dan kultur nasional yang bersifat dinamis.
Keempat, demokrasi media niscaya memerlukan lembaga penyiaran yang bersifat independen, baik dilihat dari kepentingan negara maupun komersial. Lembaga penyiaran yang dikontrol negara akan cenderung menjadi ideological state aparatus, sedangkan lembaga penyiaran yang dikontrol swasta akan mengakibatkan penggunaan logic of accumulation and exclusion sebagai penentu apa dan bagaimana sesuatu ditayangkan.
TVRI adalah LPP yang ditunjuk oleh UU maka ke depan TVRI Sumsel harus lebih meningkatan mutu penyiarannya karena jangkauan luas mencakup hampir seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Dengan keunggulan ini TVRI hadir sebagai media pemersatu bangsa sehingga dapat mendorong pembangunan bangsa secara komprehensif.
Mengelola TVRI menjadi yang terdepan menjadi hal yang tidak dapat terelakkan lagi. Menurut Rosalind Angel Fanggi dalam “Analisis Perlunya Rancangan Undang-Undang Tentang Radio Dan Televisi Republik Indonesia” (2015) lembaga penyiaran publik tentu berbeda dengan lembaga penyiaran yang menganut market model yang mengutamakan economic determinism, di mana seolah-olah semua aspek tingkah laku institusi penyiaran ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi.
Karena itu lembaga penyiaran publik diharapkan mampu menjadi media intermediary yang keberadaannya diharapkan mampu menjembatani kepentingan publik dan badan-badan publik dalam hubungannya dengan akses informasi publik secara terbuka dan transparan.
“Selamat Berulang Tahun Emas - 50 Tahun TVRI Sumatera Selatan. (maspril aries)