Melki Menggugat, Ajukan Keberatan Sanksi UI karena Ada yang Janggal
Melki akan mengajukan permohonan pemeriksaan ulang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Nonaktif, Melki Sedek Huang, menyatakan keberatan atas Keputusan Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024. Dia menegaskan akan mengajukan permohonan pemeriksaan ulang atas putusan yang menyatakan dirinya bersalah dan dikenakan sanksi administratif.
“Saya menyatakan keberatan dan permohonan pemeriksaan ulang pada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UI,” jelas Melki kepada Republika, Rabu (31/1/2024).
Melki melampirkan surat yang berisi alasan-alasan yang membuat dirinya merasa keberatan atas putusan yang ditandatangani oleh Rektor UI Ari Kuncoro tersebut. Poin pertama terkait dengan transparansi. Dia menyebutkan, sepanjang proses investigasi di Satgas PPKS UI yang berlangsung kurang lebih satu bulan, dirinya hanya dipanggil satu kali.
“Saya hanya dipanggil oleh Satgas PPKS UI sebanyak satu kali untuk dimintakan keterangan atas kasus yang ditujukan pada saya. Sehingga saya tidak pernah menyampaikan keterangan apa pun lagi ataupun mengetahui proses-proses investigasi yang ada,” ucap dia.
Melki menambahkan, sepanjang proses investigasi, dirinya tak pernah melihat dan diberikan berkas investigasi apa pun, termasuk catatan hasil investigasi dan bukti-bukti yang ada dalam investigasi. Dia mengaku hanya dikirimkan Keputusan Rektor yang memutusnya bersalah dan memberikan sanksi tanpa ada penjelasan apa pun.
“Bahkan saya tidak pernah sekali pun diajak untuk memvalidasi bukti-bukti yang ada,” terang dia.
Poin berikutnya dia menitikberatkan pada adanya kejanggalan. Melki menyampaikan, setelah pemanggilan pertama pada 22 Desember 2023 lalu, dirinya berharap adanya pemanggilan lanjutan ataupun informasi mengenai perkembangan proses investigasi. Tapi, tak satu pun panggilan terkait kasus itu kembali dia dapatkan.
“Sehingga tidak ada ruang sedikit pun bagi saya untuk menyampaikan keterangan terbaru, menyampaikan bukti-bukti, dan bahkan tak pernah sekali pun saya diajak untuk memvalidasi bukti-bukti yang ada,” jelas Melki.
Melki mengaku memahami ada sensitivitas yang besar dalam kasus tersebut sehingga diperlukan proses-proses yang tidak bisa ditempuh secara terbuka. Tapi, sebagai tertuduh dia merasa punya hak untuk mendapatkan informasi mengenai proses dan investigasi yang ada demi pencarian kebenaran yang adil. Dia merasa informasi itu sangat penting baginya dan keluarga.
“Saya pun mengerti bahwa perspektif korban adalah hal yang petning sehingga kita wajib untuk menghormati hak-hak juga nama baik korban. Namun, bukankah saya pun memiliki hak dan nama baik?” kata dia.
Melki melanjutkan, selama proses yang ada, ia merasa tak mendapatkan hak-hak tersebut, terlebih dalam hak untuk tidak dianggap bersalah sampai adanya putusan yang sah. Dia merasa tak mendapatkan hak-hak itu karena tersebarnya kasus, dokumen-dokumen, dan kabar tentang kasus itu sejak awal.
Poin ketiga terkait dengan upaya lanjutan. Melki menyatakan telah berusaha menghargai proses investigasi Satgas PPKS UI dengan baik dengan tidak pernah lari dari panggilan, tidak pernah berniat untuk tidak melaksankan kewajiban, dan mematuhi aturan-aturan terkait yang berlaku. Dia menukil poin ketujuh dalam Keputusan Rektor yang memberinya ruang untuk meminta pemeriksaan ulang.
“Saya diperkenankan untuk meminta pemeriksaan ulang yang harus diajukan paling lambat 13 hari kalender sejak diterimanya Keputusan Rektor UI tersebut jika Keputusan Rektor UI tersebut dianggap tidak adil. Sehingga saya akan tetap mematuhi dan menjalankan upaya-upaya yang menurut aturan diperbolehkan,” terang dia.
Terakhir di dalam surat itu dia menyampaikan, sejak awal dirinya selalu berkomitmen untuk mematuhi dan menghargai segala proses hukum yang legal untuk menghadirkan kebenaran dan menegakkan hak-hak para pihak. Sebab itu Melki menyatakan komitmen tersebut akan terus dia terapkan dan laksanakan hingga proses ke depan.
“Maka, oleh karena minimnya transparansi, adanya kejanggalan, dan juga keputusan yang tidak adil, melalui surat ini saya ajukan proses yang legal, yaitu pemeriksaan ulang atas kasus ini,” kata Melki.
Sebelumnya, UI secara resmi mengeluarkan keputusan pemberian sanksi administratif Melki berupa skorsing akademik selama satu semester. Dalam putusan itu memang terbuka kesempatan bagi korban maupun pelaku yang merasa putusan itu tidak adil untuk meminta pemeriksaan ulang paling lambat 14 hari kalender.
“Untuk melaksanakan fungsinya terkait penanganan kekerasan seksual di lingkungan UI, Satgas PPKS UI mengeluarkan rekomendasi sanksi administratif yang ditetapkan dengan Keputusan Rektor,” ucap Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia kepada Republika, Rabu (31/1/2024).
Dia menyampaikan, untuk sampai pada rekomendasi tersebut merupakan suatu proses panjang yang penuh dengan kecermatan sampai dengan turunnya sanksi. Sanksi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Rektor UI Nomor 49/SK/R/UI/2024 tentang Penetapan Sanksi Administratif Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Atas Nama Melki Sedek.
Dalam SK tersebut diputuskan, Melki diskors akademik selama satu semester. Dalam masa skorsing tersebut, Melki dilarang melakukan sejumlah hal. Pertama, menghubungi, melakukan pendekatan, berada dalam lokasi berdekatan, dan/atau mendatangi korban. Kedua, aktif secara formal maupun informal dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan pada tingkat program studi, fakultas, dan universitas.
“Dan (dilarang) berada di lingkungan kampus UI,” bunyi huruf c dalam poin satu putusan yang ditandatangani oleh Rektor UI Ari Kuncoro pada 29 Januari 2014 itu.
Selain itu, selama masa skorsing, Melki diwajibkan mengikuti konseling psikologis sehingga pelaku diperkenankan hadir di lingkungan kampus UI hanya pada saat harus menghadiri sesi-sesi konseling atau edukasi tentang kekerasan seksual yang dilaksanakan secara khusus dengan tatap muka langsung di kampus UI.
“Pelaku wajib menandatangani surat pernyataan bermaterai yang menyatakan telah melakukan kekerasan seksual, menerima sanksi yang diberikan, dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun,” bunyi poin keempat putusan tersebut.
Pada poin ketujuh putusan dalam SK tersebut dinyatakan, jika keputusan tersebut dianggap tidak adil, maka korban ataupun pelaku berhak untuk meminta pemeriksaan ulang. Permintaan itu harus diajukan paling lambat 14 hari kalender sejak diterimanya SK Rektor tersebut.