Timnas AMIN Dukung Gerakan Kekecewaan Sivitas Akademika Terhadap Jokowi
Gerakan kekecewaan terhadap Jokowi dimulai dari UGM lewat Petisi Bulaksumur.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapten Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 'AMIN' Muhammad Syaugi mengaku mendukung gerakan sejumlah akademisi kampus yang melayangkan petisi kepada Presiden RI Joko Widodo sebagai bentuk kekecewaan atas kondisi politik saat ini. Menurut Syaugi, gerakan itu merupakan bentuk keinginan rakyat untuk perubahan.
"Iya lah (Timnas mendukung petisi para sivitas akademika), kan kita selama ini sudah tahu bagaimana situasi negara ini," kata Syaugi saat ditemui di Markas Pemenangan AMIN, Jalan Diponegoro 10, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/2/2024).
Syaugi mengatakan, adanya gerakan penyampaian petisi kepada Presiden Jokowi merupakan bentuk demokrasi. Timnas AMIN sendiri, sambungnya, telah menjalin hubungan dengan sejumlah alumni akademisi kampus yang mendukung visi misi perubahan.
"Kalau ada elemen masyarakat yang pengen menyampaikan aspirasi, saya pikir ini negara demokrasi, jadi wajar-wajar saja, tidak ada masalah. Kami sudah menerima beberapa alumni baik dari ITB, Gajah Mada (UGM), UI, dan Trisakti, mereka semua rata-rata mendukung tagline Pak Anies yaitu perubahan," jelasnya.
Syaugi berpikiran bahwa para akademisi di berbagai kampus yang melayangkan petisi kepada Jokowi dianggap selaras dengan visi misi AMIN untuk melakukan perubahan. Jadi dia menegaskan pihaknya sejalan dengan gerakan rakyat tersebut.
"Mungkin juga mereka (akademisi yang ajukan petisi) seperti itu saya pikir, jadi kita menyambut baik apa yang disampaikan selama itu dalam koridor demokrasi," jelasnya.
Sebelumnya diketahui, sejumlah sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni berkumpul di Balairung UGM pada Rabu (31/1/2024) sore. Mereka menyampaikan Petisi Bulaksumur untuk menyikapi kondisi perpolitikan nasional saat ini yang dinilai telah menyimpang.
"Kami sivitas akademika Universitas Gadjah Mada, setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir sekaligus mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri Universitas Gadjah Mada, menyampaikan keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial," kata Prof Kuntjoro membacakan petisi mewakili sivitas akademika, Rabu.
Dalam petisi tersebut disampaikan juga bahwa sivitas akademika UGM menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada (UGM). Para akademisi UGM memandang pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Presiden Jokowi.
Pernyataan Jokowi itu tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.
Gerakan berlanjut pada Kamis (1/2/2024) yang dilakukan kampus lain, yakni Universitas Islam Indonesia (UII). Sivitas akademika UII menyoroti perkembangan politik nasional yang dinilai mengalami darurat kenegarawanan. Menjelang Pemilihan Umum 2024, UII mendesak sejumlah langkah dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.
Rektor UII Fathul Wahid yang membacakan pernyataan itu menyoroti terjadinya sejumlah gejala yang tersebut. Di antaranya, UII menyoroti sikap Presiden Joko Widodo yang menyatakan ketidaknetralan institusi kepresidenan dengan membolehkan Presiden berkampanye dan berpihak.
Selain itu, UII juga memandang distribusi bantuan sosial melalui pembagian beras dan bantuan langsung tunai (BLT) oleh Presiden Joko Widodo juga makin mempertontonkan nuansa politik praktis yang diarahkan pada personalisasi penguatan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
"Indikator utamanya adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden yang didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023," kata Rektor UII Fathul Wahid di Kampus UII, Sleman, Kamis (1/2/2024).
Tidak hanya itu, mobilisasi aparatur negara untuk kepentingan dukungan terhadap pasangan calon tertentu juga merupakan tindakan melanggar hukum sekaligus melanggar konstitusi. "Situasi di atas menjadi bukti, Indonesia sedang mengalami darurat kenegarawanan yang bisa berujung pada ambruknya sistem hukum dan demokrasi," ucapnya.
Menanggapi beberapa indikasi tersebut, sivitas akademika UII menyatakan sejumlah sikap. UII mendesak Presiden Joko Widodo untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan. "Presiden harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan, bukan untuk sebagian kelompok," kata Fathul.
UII juga menuntut agar Presiden Joko Widodo beserta semua aparatur pemerintahan untuk tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan politik praktis, termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial.
UII juga menyerukan DPR dan DPD agar aktif melakukan fungsi pengawasan, memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor konstitusi dan hukum, serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan dan masa depan bangsa.
Informasinya, besok, Jumat (2/2/2024) sivitas akademika Universitas Indonesia (UI) juga akan menyampaikan pandangannya tentang hal serupa.