Lima Tahapan Menuju Takwa yang Sebenarnya 

Takwa merupakan kunci menuju kebahagiaan hidup.

Republika/Wihdan Hidayat
Ilustrasi orang berdoa berharap dimudahkan untuk bertakwa.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para hukama yakni para ahli hikmah atau makrifat mengungkapkan bahwa ada lima tahapan menuju takwa yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni dalam kitabnya Nashaihul Ibad.

Baca Juga


Diriwayatkan dari sebagian hukama Rahimakumullah, "Di hadapan takwa ada lima jalan (tahapan), siapa yang berhasil melalui seluruhnya, maka ia akan memperoleh hakikat takwa (takwa yang sebenarnya). Yaitu, pertama, memilih kesukaran atas kenikmatan. Kedua, memilih kesungguhan atas kebebasan. Ketiga, memilih kelemahan atas keperkasaan. Keempat, memilih diam atas bicara yang tidak ada manfaatnya. Kelima, memilih mati atas kehidupan." (Nashaihul Ibad, Syekh Nawawi al-Banteni)

Di hadapan takwa terbentang lima jalan atau tahapan-tahapan, seperti jalan-jalan di atas bukit. Siapapun yang dapat melalui jalan-jalan tersebut, maka ia akan memperoleh hakikat dari ketaqwaan itu, yaitu dengan cara meninggalkan perbuatan yang dikehendaki nafsu dan menjauhi larangan Allah.

Pertama, memilih kesukaran atas kenikmatan, yaitu dengan cara memilih beban ibadah untuk meninggalkan segala sesuatu yang menyenangkan.

Kedua, memilih kesungguhan atas kebebasan, maksudnya kesungguhan dalam beribadah dengan cara meninggalkan kesenangan dunia.

Ketiga, memilih kelemahan atas keperkasaan, yaitu dengan bersikap tawadhu. Tawadhu artinya rendah hati dan tidak sombong. Orang yang tawadhu adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Keempat, memilih diam atas banyak bicara, yaitu meninggalkan ucapan-ucapan yang tidak ada manfaatnya atau tidak mengandung kebaikan.

Kelima, memilih maut atas kehidupan. Menurut pandangan ahli, yang dimaksud dengan maut di sini adalah mengekang keinginan nafsu. Siapapun yang keinginan nafsunya mati, maka ia akan hidup. Dilansir dari kitab Nashaihul Ibad yang diterjemahkan Abu Mujaddidul Islam Mafa dan diterbitkan Gitamedia Press, 2008.

Maut itu terbagi menjadi empat bagian. Pertama, kematian merah, yaitu menentang ajakan hawa nafsu. Kematian putih, yaitu perut yang lapar, karena lapar itu dapat menerangi batin dan memutihkan hati nurani. Siapapun yang tidak pernah kenyang, maka hiduplah kecerdasannya.

Ketiga, kematian hijau, maksudnya adalah memakai pakaian usang yang tidak berharga (sederhana dalam berpakaian), demi memenuhi sikap zuhud dan qana'ah.

 

Kematian hitam, maksudnya yaitu memikul penderitaan dari perbuatan orang lain yang disebut Fanaa billah (merasa lenyap dirinya, karena tenggelam kepada Allah). Yaitu menyadari bahwa pada hakikatnya penderitaan itu adalah berasal dari Allah, karena dengan melihat lenyapnya semua perbuatan akan tenggelam dalam perbuatan yang sangat dicintainya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler