Perubahan Iklim Jadi Penyebab Kebakaran Hutan di Chile
Sedikitnya 112 orang tewas akibat kebakaran hutan di Chile.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedikitnya 112 orang tewas akibat kebakaran hutan di Chile bagian tengah, yang membuat presidennya mengumumkan dua hari berkabung nasional. Kehancuran ini terjadi tak lama setelah Kolombia mengumumkan bencana kebakaran hutan.
Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan iklim membuat gelombang panas dan kekeringan yang kini melanda Amerika Selatan menjadi lebih sering terjadi. Selain itu, keduanya berkontribusi terhadap kebakaran hutan dengan mengeringkan tanaman yang menjadi bahan bakar kobaran api.
Kebakaran di Chile terjadi di tengah gelombang panas yang mendorong suhu di ibu kota Santiago mencapai sekitar 37 derajat Celcius. Panas yang ekstrem memanggang kelembaban dari kayu, mengubahnya menjadi bahan bakar yang ideal. Api lebih cepat menyala, dan juga membakar dengan intensitas yang lebih tinggi. Hanya beberapa derajat tambahan saja bisa menjadi titik kritis yang membuat perbedaan antara musim kebakaran ringan dan musim kebakaran parah.
Edward Mitchard, pakar hutan University of Edinburgh School of Geosciences di Skotlandia, mengatakan bahwa perubahan iklim membuat dunia menjadi lebih panas, yang berarti tanaman menguapkan lebih banyak air dan tanah menjadi lebih kering.
“Hanya perlu beberapa hari cuaca yang sangat kering dan panas untuk membuat daun-daun terasa garing dan kering. Itu adalah bahan bakar yang sangat mudah terbakar. Tanah yang lebih kering berarti api lebih panas dan bertahan lebih lama,” kata dia seperti dilansir Phys, Rabu (7/2/2024).
Sebuah penelitian yang dipublikasi di jurnal Nature menunjukkan bahwa musim kebakaran rata-rata 18,7 persen lebih lama karena perubahan iklim. Hal ini berarti bertambahnya waktu untuk terjadinya kebakaran yang menghancurkan.
Meningkatnya jumlah kekeringan akibat gangguan siklus hujan global berarti seluruh wilayah dapat mengalami kekeringan yang luar biasa dan lebih rentan terhadap kebakaran. Mitchard mengatakan bahwa perubahan iklim telah membuat kekeringan menjadi lebih sering terjadi, terutama terjadi di Amerika Selatan tahun ini.
"Kita mengalami kekeringan paling ekstrem yang pernah tercatat di lembah Amazon, dan jika Anda mengalami kekeringan di lembah Amazon, Anda juga akan mendapatkan lebih sedikit curah hujan di bagian selatan Amerika Selatan,” kata Mitchard.
Dalam kasus Chile, beberapa hujan yang sangat lebat tahun lalu diperkirakan telah meningkatkan pertumbuhan semak belukar yang menjadi bahan bakar yang sempurna untuk kebakaran.
Selain itu, ada juga pola cuaca El Nino, yaitu pemanasan air permukaan secara alami dan berkala di Pasifik yang mempengaruhi cuaca di seluruh dunia. Di Amerika Selatan, hal ini berarti peningkatan suhu dan kekeringan tahun ini.
Perubahan iklim membuat El Nino yang lebih kuat lebih mungkin terjadi, kata Mitchard, dan kekeringan yang disebabkan olehnya kemungkinan akan lebih hebat. Bulan lalu, pemerintah Kolombia mengumumkan bencana atas puluhan kebakaran hutan yang terkait dengan fenomena cuaca tersebut.
Dan sejumlah besar karbon yang dilepaskan oleh kebakaran hutan itu sendiri meningkatkan pemanasan global.
World Resources Institute menggunakan data satelit untuk menghitung bahwa kebakaran hutan saat ini telah menghancurkan sekitar 30 ribu kilometer persegi hutan setiap tahunnya, sebuah area yang luasnya kira-kira sebesar Belgia dan dua kali lipat lebih luas dibandingkan 20 tahun yang lalu.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah menemukan bahwa secara global, gelombang panas ekstrem terjadi lima kali lebih sering karena pemanasan global yang disebabkan oleh manusia. Musim kebakaran menjadi lebih kering dengan suhu yang lebih tinggi. Ini adalah kondisi yang ideal untuk terjadinya kebakaran hutan.