Filrm Dirty Vote, Airlangga: Itu Black Movie, Black Campaign

Airlangga menilai film itu bermuatan politis untuk serang lawan politik.

dok partai golkar
Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto
Rep: Dessy Suciati Saputri Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Airlangga Hartarto turut mengomentari film dokumenter 'Dirty Vote' yang disampaikan oleh tiga ahli hukum tata negara. Ia menyebut, film tersebut sebagai film kampanye hitam yang bermuatan politis untuk menyerang lawan politiknya.

"Itu namanya kan black movie, black campaign, ya kalau itu kan ngga perlu dikomentarin," kata Airlangga usai mengikuti rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (12/2/2024).

Baca Juga



Apalagi, kata dia, film ini diunggah di platform Youtube saat masa minggu tenang.
"Ya artinya kan namanya juga black movie pas minggu tenang akhir-akhir ini," tambahnya.

Menurut Airlangga, pemilu saat ini sudah berjalan aman , tertib, dan lancar. Karena itu, ia meminta agar tak ada pihak yang memperkeruh suasana saat ini. "Saya rasa sih pemilu kan sudah berjalan dengan aman, tertib, dan berjalan dengan lancar jadi tidak perlu dibuat apa namanya dibuat keruh," kata dia.

Sebagai negara demokrasi terbesar setelah AS dan India, ia mendorong agar penyelenggaraan pemilu di Indonesia berjalan sesuai mekanisme yang ada.

"Dan kita optimis jangan ada pemilu yang diganggu oleh hal-hal semacam itu," tambahnya.

Menurut Airlangga, paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pun tak terganggu dengan film 'Dirty Vote' tersebut. Yang terpenting, kata dia, masyarakat tetap datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memberikan suaranya. "Ya yang penting tanggal 14 masyarakat perlu nyoblos," ujarnya.

Dalam keterangan pada film yang diunggah ke platform Youtube itu dijelaskan, 'Dirty Vote' merupakan sebuah film dokumenter yang disampaikan tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Disebutkan, ketiganya mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.

"Penggunaan infrastruktur kekuasaan yang kuat, tanpa malu-malu dipertontonkan secara telanjang demi mempertahankan status quo. Bentuk-bentuk kecurangannya diurai dengan analisa hukum tata negara," bunyi keterangan itu.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler