Setelah Jepang dan Inggris, Apakah AS Juga Akan Resesi?
Selama dua kuartal terakhir, perekonomian AS lebih tinggi dibandingkan perkiraan.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dua perekonomian terbesar di dunia, Jepang dan Inggris mengalami resesi. Pada Kamis (15/2/2024) Tokyo dan London melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka negatif dua kuartal berturut-turut, sesuai definisi apa yang disebut resesi.
Apakah Amerika Serikat (AS) sebagai perekonomian terbesar di dunia akan mengalaminya? Menurut pengamat tidak.
Dikutip dari CNN International, Sabtu (17/2/2023) dalam catatannya Kamis lalu Kepala Ekonom UBS Global Wealth Management Paul Donovan mengatakan kontraksi ekonomi Jepang berkaitan dengan menyusutnya populasi. Pada tahun 2022 populasi Negeri Sakura turun 800 ribu, menandai penurunan populasi ke-14 kalinya berturut-turut.
Hal ini membatasi kemampuan Jepang untuk tumbuh karena, kata Donovan, artinya "semakin sedikit orang yang memproduksi dan mengkonsumsi barang atau jasa."
Namun pertumbuhan populasi dan upah tidak cukup mencegah penurunan belanja konsumen Inggris yang menjadi salah pendorong itu perekonomian di negara itu. Bertolak belakang dengan apa yang terjadi di AS.
Selama dua kuartal terakhir, perekonomian AS lebih tinggi dibandingkan perkiraan pertumbuhan PDB, sebagian besar karena menguatnya pengeluaran konsumen.
Perekonomian AS lebih unggul dibandingkan negara-negara maju lainnya terutama karena dana stimulus pandemi yang membantu keuangan rumah tangga. AS juga tidak bergantung pada pasokan energi Rusia, sehingga tidak terlalu rentan dibandingkan negara lain ketika harga gas alam naik usai invasi skala besar Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 lalu.
Namun data ritel bulan Januari AS yang dirilis Kamis lalu menunjukkan lebih rendah dibandingkan yang diperkirakan. Hal ini dapat menandakan warga AS mengencangkan ikat pinggang mereka setelah musim liburan.
Namun pasar lapangan kerja AS kuat, terbukti dengan tingkat pengangguran yang masih di bawah 4 persen selama 24 bulan berturut-turut.
Saat ini perekonomian AS bisa saja dianggap resesi tanpa diketahui masyarakat. Sebab resesi ekonomi AS diputuskan delapan ekonom yang tergabung dalam Business Cycle Dating Committee atau Komite Penanggalan Siklus Bisnis di Biro Penelitian Ekonomi Nasional (NBER).
Mereka hanya memutuskan permulaan resesi secara retroaktif berdasarkan "penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan yang tersebar di seluruh (sektor) perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan."
Tidak ada aturan pasti faktor apa saja yang menentukan resesi. Tapi bisa mencakup lonjakan angka pengangguran, turunnya pendapatan, turunnya pengeluaran konsumen dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Namun PDB negatif dua kuartal berturut-turut tidak selalu dikualifikasi sebagai resesi. AS sudah mengalami itu pada tahun 2022 dan komite itu NBER tidak mengumumkan resesi.
Pada Desember lalu Gubernur bank sentral AS, FED, Jerome Powell mengatakan resiko resesi meningkat sejak FED mulai memperketat siklus pada Maret 2022 lalu. Namun, katanya, "hanya ada sedikit dasar pemikiran perekonomian saat ini mengalami resesi."
Powell menambahkan tapi bahkan ketika ekonomi tampaknya tidak pernah lebih baik, selalu ada kemungkinan resesi di tahun depan. Sebagian besar karena guncangan-guncangan tidak terduga seperti pandemi global yang dapat muncul kapan saja.
Menurut kepala ekonom Boston Consulting Group Philipp Carlsson-Szlezak, AS tidak akan memasuki masa resesi pada tahun ini. "Lebih pada tahun pertumbuhan lambat," katanya.
"Ketahanan ekonomi AS berakar pada kekuatan-kekuatan fundamental (terutama pasar tenaga kerja dan keuangan pribadi orang Amerika)," tambahnya.
Meski menurutnya AS tidak akan mengalami resesi tahun ini tapi hal itu dapat terjadi bila FED sama sekali tidak memotong suku bunga sepanjang tahun. Carlsson-Szlezak mengatakan investor memperhitungkan kemungkinan penurunan suku bunga beberapa kali pada tahun 2024, jika tidak, hal ini dapat merusak pasar keuangan yang cukup parah dan memicu resesi.