Jaga Pemilu: Salah Input Sirekap Jadi Pelanggaran Tertinggi Hingga H+3 Pemungutan Suara
Pelanggaran tertinggi lainnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan KPPS.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan salah input dalam aplikasi sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi pelanggaran tertinggi yang diperoleh pada H-1 hingga H+3 hari pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu. Hal itu diungkapkan oleh Jaga Pemilu, salah satu gerakan masyarakat dalam mengawal pemilu.
Jaga Pemilu juga mencatat, pelanggaran tertinggi berikutnya adalah kesalahan administrasi tata cara pelayanan pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lapangan.
"Sejak Orde Baru berakhir, ini adalah pemilu keenam yang kita lakukan. Sangat disayangkan bahwa sudah enam kali berturut-turut kita melakukan pemilu, berbagai kecurangan atau kesalahan yang terjadi, termasuk kesalahan administratif seperti dua hal tertinggi tersebut, belum bisa diminimalisir," kata Sekretaris Perkumpulan Jaga Pemilu Luky Djani dalam konferensi pers Jaga Pemilu, Jaga Suara 2024, Kecurangan Pemilu, dan Omong-Omong Media di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (17/2/2024).
Luky menjelaskan, kedua pelanggaran itu diperoleh dari pantauan yang Jaga Pemilu lakukan di hampir 7.000 tempat pemungutan suara (TPS) di lapangan, baik oleh penjaga pemilu yang teregistrasi, maupun dari masyarakat umum. Keduanya berbeda dari isu pelanggaran tertinggi sebelum hari H yang didominasi oleh ketidaknetralan aparat.
"Selain salah input Sirekap dan kesalahan administrasi tata cara pemilu, juga ada persoalan netralitas penyelenggara, politik uang di H-1 sampai menjelang pencoblosan atau yang dikenal sebagai serangan fajar. Juga ada pelanggaran terkait dengan Daftar Pemilih Tetap. Misalnya, ada nama di daftar tapi tidak menerima surat panggilan, atau sebaliknya, ada anggota keluarga yang sudah wafat tapi menerima surat panggilan," jelasnya.
Luky melanjutkan, menurutnya Pemilu 2024 tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan Pemilu 1992 ketika Orde Baru masih berkuasa. Artinya, setelah 30 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilu bebas, berbagai kesalahan masih terus terjadi hingga saat ini di pascareformasi.
Dalam kesempatan itu, hadir pula narasumber dari berbagai gerakan masyarakat yang mengawal pemilu, seperti Pendiri JagaSuara2024 Hadar Gumay, Direktur Migrant Care Wahyu Susilo, Pendiri KecuranganPemilu Feri Amsari, Pendiri OM Institute Okky Madasari, Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmy, dan Pengajar STF Driyarkara Yanuar Nugroho.
Pendiri JagaSuara2024 Hadar Gumay mengatakan, kesalahan penginputan data di Sirekap tidak bisa dianggap enteng. Ini karena data rekapitulasi yang secara manual akan dilakukan bertahap sesungguhnya bertumpu pada bahan awal dari aplikasi Sirekap.
Sehingga data Sirekap harus benar-benar jujur mencerminkan perolehan hasil dari TPS. "Jadi kalau bahan awalnya kotor, maka rekap manualnya pun akan tidak bersih," tuturnya.
Hadar mengutip temuan organisasinya yang mengambil 5.000 sampel data Sirekap yang tersebar di 1.172 kelurahan yang dipilih secara acak dan tersebar di 494 kabupaten/kota.
Dari sampel sebanyak itu, ditemukan 2,66 persen kesalahan suara sah tidak sama dengan jumlah suara paslon, 0,88 persen suara sah tidak sesuai dengan foto C hasil, dan 1,96 persen satu atau lebih suara paslon tidak sesuai dengan foto C hasil.
"Ada kemungkinan di antara sampel ada kesalahan yang telah diperbaiki sebelum diunduh, sehingga tingkat kesalahan sebenarnya lebih tinggi. Sirekap sesungguhnya alat bantu yang sangat penting, tapi sebagaimana alat, ia bisa direkayasa, sehingga harus diperhatikan dan diawasi betul," ungkap Hadar.
Kemudian, Hadar menyimpulkan, penyelenggara Pemilu 2024 cenderung tidak mandiri. Ia menyinggung intervensi DPR dalam memutuskan apa yang sesungguhnya menjadi wewenang KPU, serta intervensi lainya yang membuat peraturan dan data sampai harus berubah.
Misalnya, peraturan tentang kewajiban 30 persen calon legislatif harus perempuan banyak tidak terwujud. Bahkan ada enam partai yang jelas-jelas tidak memenuhi prasyarat itu.
"Berkali-kali kesalahan yang dilakukan KPU dianggap sebagai persoalan kecil, yang saling ditutupi. Ini persoalan serius. Saya menyoroti penyelenggara pemilu kita saat ini nyata-nyata melaksanakan pemilu tidak sesuai dengan Undang-Undang. Ini cacat besar dalam demokrasi kita, jadi jangan seolah-olah kita bilang pemilu selesai dan tutup buku," ujarnya.
Pengajar STF Driyarkara Yanuar Nugroho pun angkat bicara mengenai persoalan itu. Ia yang pernah menjadi Deputi Kantor Staf Presiden pada 2015-2019 mewanti-wanti bahwa berbagai kecurangan yang terjadi tidak boleh dinormalisasi, tidak boleh dimaklumi atau dimaafkan dan tidak boleh diinstitusionalisasikan.
Ia menekankan jangan sampai berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi di lapangan menjadi resep bagi pemimpin lain di Indonesia di masa mendatang untuk melakukan kecurangan yang berkelanjutan.
"Politik 'gentong babi' itu bukan hanya bansos, tapi juga kenaikan gaji bagi aparat negara, penyelenggara pemilu, bahkan sampai ke penunjukkan komisaris," kata Yanuar.