Kejagung Pastikan Tindak Korporasi di Kasus PT Timah Jika Memungkinkan
Kerugian kasus dugaan korupsi PT Timah mencapai 271 triliun.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Besarnya nilai kerugian perekonomian negara dari dampak kerusakan lingkungan dan ekologi akibat korupsi timah di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) bakal membidik sejumlah perusahaan pertambangan yang terlibat, sebagai tersangka korporasi. Penjeratan tersangka korporasi tersebut untuk mencari jalan hukum dalam pengembalian kerugian negara yang besarnya mencapai Rp 271 triliun.
Penjeratan tersangka perorangan dan penyitaan sejumlah aset dari para tersangka individu, diyakini tak bakal maksimal dalam usaha Kejagung mengembalikan kerugian negara senilai ratusan triliun tersebut. Sebab itu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi mengatakan, peluang untuk menjerat tersangka korporasi dalam kasus korupsi timah PT Timah Tbk ini terbuka lebar.
“Apabila memungkinkan dalam perkembangannya kita melihat tindakan dugaan korupsi ini adalah sebagai aksi-aksi dari pihak korporasi, pastinya kita akan mengambil tindakan (penetapan tersangka) terhadap korporasinya,” kata Kuntadi, Kamis (22/2/2024).
Sebab itu, kata Kuntadi, tim penyidikannya, kerap melakukan evaluasi-evaluasi di setiap tindakan hukum terhadap perorangan yang terlibat saat ini. Sampai dengan Kamis (22/2/2024), penyidik Jampidsus, sudah menetapkan total 13 orang sebagai tersangka.
Namun belum menetapkan tersangka korporasi. “Kalau kita lihat nantinya ada bukti-bukti bahwa tindakan tersebut berasal dari keputusan korporasi, itu menjadi alat bukti untuk arah penindakan hukum ini,” ujar Kuntadi.
Sebanyak 13 tersangka perorangan yang sudah ditahan oleh Kejagung, termasuk dua pejabat tinggi di PT Timah Tbk. Yakni, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPT), yang ditetapkan tersangka selaku Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk 2016-2021, dan Emil Emindra (EE) yang dijerat tersangka selaku Direktur Keuangan (Dirkeu) PT Timah Tbk 2018.
Tersangka lainnya, adalah para pengusaha swasta, yang perusahaannya masing-masing turut terlibat dalam eksplorasi penambangan timah di lokasi IUP PT Timah Tbk. Di lokasi non-IUP yang merugikan keuangan, dan perekonomian negara para tersangka swasta itu, di antaranya, Suparta (SP) selaku Dirut PT Rafined Bangka Tin (RBT), dan Reza Andriansyah (RA) yang ditetapkan tersangka selaku Direktur Perkembangan PT RBT.
Selanjutnya, adalah Suwito Gunawan (SG) Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa. MB Gunawan (MBG) tersangka selaku Direktur PT Stanindo Inti Perkasa. Hasan Tjhie (HT) tersangka selaku Dirut CV Venus Inti Perkasa (VIP). Kwang Yung alias Buyung (BY) tersangka selaku mantan komisaris CV VIP. Robert Indarto (RI) tersangka sebagai direktur utama (Dirut) PT SBS. Tamron alias Aon (TN) tersangka sebagai pemilik manfaat atau benefit official ownership CV VIP. Achmad Albani (AA) tersangka selaku manager operational CV VIP.
Semua tersangka tersebut dijerat dengan sangkaan yang sama. Yakni Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor 31/1999 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Sedangkan satu lagi, yakni Toni Tamsil (TT) merupakan tersangka pertama dalam penyidikan kasus ini. Namun penetapan TT sebagai tersangka, pada Selasa (30/1/2024) terkait dengan perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OOJ), Pasal 21 UU Tipikor.
Pada Senin (19/2/2024), Jampidsus bersama tim ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat (Jabar), pun merilis besaran kerugian perekonomian negara dalam kasus korupsi penambangan timah PT Timah Tbk ini. Besarnya mencapai Rp 271,06 triliun.
Profesor Bambang Hero Suharjo selaku guru besar perindungan hutan dan lingkungan hidup yang menjadi tim ahli, dalam paparannya menyampaikan, besaran kerugian perekonomian negara tersebut terbagi ke dalam tiga klaster. Klaster pertama terkait dengan kerugian lingkungan atau ekologis sebesar Rp 183,70 triliun.
Klaster kedua dalam kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 74,47 triliun. Terakhir terkait dengan kerugian dalam kewajiban pemulihan lingkungan senilai Rp 12,15 triliun. “Sehingga total kerugian negara dari kerusakan lingkungan hidup setotal Rp 271.069.688.018.700,” kata Bambang di Kejakgung, Jakarta, Senin (19/2/2024).
Nilai kerugian negara tersebut, pun diyakini bertambah. Karena kata Kuntadi melanjutkan, besaran kerugian perekonomian negara akibat kerusakan lingkungan dan ekologi tersebut belum memasukkan angka kerugian keuangan negara. “Kita (penyidik) juga masih melakukan penghitungan kerugian keuangan negaranya bersama auditor dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jadi kerugian negara ini (Rp 271 triliun), pasti akan bertambah,” tegas Kuntadi.