Cegah Kekerasan di Pesantren, Kemenag: Tak Boleh Ada Ruang Gelap
Ruang gelap ini yang pertama adalah relasi kuasa yang kuat antara santri dan kiai.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk mencegah kasus kekerasan fisik dan seksual di pondok pesantren, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Dirjen Pendis Kemenag), Muhammad Ali Ramdhani melarang pesantren untuk menciptakan ruang-ruang gelap.
"Salah satu keinginan besar kita di dalam hal ini adalah terutama di kekerasan seksual dan termasuk perundungan, itu tidak boleh ada ruang gelap di pondok pesantren," ujar pria yang akrab dipanggil Kang Dhani ini dalam acara Ngopi: Ngobrol Pendidikan Islam yang digelar di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Selasa (27/2/2024).
Menurut dia, ruang gelap ini yang pertama adalah relasi kuasa yang sangat kuat antara santri dan kiainya atau ibu nyai-nya. Karena, kadang-kadang santri itu bisa ditarik pada ruang-ruang yang gelap itu.
"Ruang gelap itu tidak harus terhubung. Tetapi tidak bisa ditengok dari luar. Ada ruang privat yang tidak diperkenankan," ucap Kang Dhani.
Menurut dia, ruang-ruang gelap itu juga tidak boleh ada di madrasah, sehingga tidak ada kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kekerasan seksual maupun perundungan.
"Jadi tidak boleh ada pendidikan privatel yang menimbulkan kesempatan atau niat untuk melakukan hal yang tidak baik," kata Kang Dhani.
"Dan mudah-mudahan dengan tidak ada ruang gelap ini, kira mencoba membangun hubungan yang baik. Walaupun relasi kuasa itu baik tetapi tidak ada ruang-ruang kekerasan dari senior ke junior," jelas Kang Dhani.
Dia pun menyampaikan keprihatinan yang mendalam terkait kekerasan yang terjadi di Pondok Pesantren PPTQ Al Hanifiyah Mojo, Kabupaten Kediri yang membuat seorang santri meninggal dunia lantaran diduga dianiaya seniornya.
Dia pun mengimbau kepada setiap orang tua agar lebih cermat dalam memilih pesantren untuk pendidikan anaknya.
"Bagaimana kita memilih pondok pesantren tentu saja yang perlu dijadikan pertimbangan adalah yang pertama pesantren tidak boleh memutuskan hubungan antara orang tua dan santri," ujar Kang Dhani.
Karena, lanjut dia, pendidikan yang baik sesungguhnya lahir dari sebuah ekosistem yang baik. Menurut dia, sebuah proses pembelajaran tidak hanya lahir dari prodok pesantren, tetapi juga dari proses pembinaan dari orang tua.
"Dan orang tua memiliki hak yang kuat untuk memantau setiap perkembangan dari sisi fisik, dari sisi pengetahuan dan dari sisi semua aspek yang menyangkut anaknya, apalagi anak ini belum dewasa," ucap Kang Dhani.
Dia menambahkan, memang ada mekanisme pesantren yang diatur untuk tidak mengganggu proses pembelajaran santrunya. "Itu juga penting, tetapi kalau pemutusan hubungan komunikasi itu tidak baik," kata dia.
"Maka ketika memilih pesantren, harapan saya masyarakat memilih pesantren-pesantren yang bisa diakses secara baik oleh orang tua dalam periode-periode yang sangat intens," jelas dia.