Pengamat Sebut Diskon Jadi Pintu Masuk Penyidikan Pembelian Emas 7 Ton
Satu perkara diproses perdata dan pidana adalah hal biasa.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Hibnu Nugroho, melihat tidak ada hal salah yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menyidik perkara pembelian emas PT ANTAM seberat 7 ton oleh Budi Said. Kejagung menemukan perbuatan melawan hukum, dalam bentuk adanya diskon pembelian emas.
Hal ini disampaikan Hibnu menanggapi praperadilan yang dilakukan tersangka kasus dugaan korupsi pembelian emas 7 ton. Melalui pengacara kondang Hotman Paris, Budi Said meminta pembatalan penetapan tersangkanya,serta meminta Kejagung menghentikan proses hukum pidana kasus ini.
Hibnu mengatakan, dalam hukum ada asas bahwa segala sesuatu dianggap benar kecuali dibuktikan sebaliknya. “Jadi mungkin di proses perdata itu ada yang benar tetapi ada sesuatu yang salah,” ujar Hibnu.
Ia merujuk penjelasan penyidik Kejagung bahwa PT ANTAM tidak pernah menjual emas dengan diskon. “Tidak bisa produsen menjual langsung dengan diskon itu tidak ada. Kalau dalam pembelian emas (oleh Budi Said ) itu ada diskon, berarti kan ada yang salah. Ada dokumen yang salah. Lha ini dari aspek pidananya masuk,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman tersebut.
Menurut Hibnu, Kejagung sepertinya menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus pembelian emas 7 ton oleh Budi Said ini. Sehingga Kejagung menemukan tersangka dalam kasus tersebut.
Satu perkara yang sebelumnya sudah diproses perdata kemudian diproses pidana, kata Hibnu, adalah hal yang biasa terjadi. Menurutnya cara-cara itu seringkali digunakan untuk mengelabuhi. “Kalau diperhatikan (contohnya) kasus mafia-mafia tanah itu seperti itu. Dibungkus seolah-olah perdata,” ungkap dia.
Proses hukum perkara perdata, kata Hibnu, adalah mencari kebenaran formal. Sementara pidana adalah mencari kebenaran materiil. Idealnya, lanjut Hibnu, semua berdasar kebenaran materiil, namun seringkali dilewatkan.
“Kalau perdata bukti formal, misalnya perkara perdata kepemilikan tanah, maka orang akan melihat sertifikat. (Sertifikat) Itu sudah betul (secara perdata). Tapi cara mendapatkan sertifika itu salah (tidak sesuai prosedur atau melanggar hukum),” ungkap Hibnu.