Surat Al-Mumtahanah Ayat 10 Ini Jadi Penegasan Larangan Nikah Beda Agama
Islam melarang menikah beda agama
REPUBLIKA.CO.ID, Tafsir Al Mumtahanah 10 Berisi tentang Perintah Allah untuk Melindungi Muslimah dari Suami yang Kafir
JAKARTA – Surat Al-Mumtahanah ayat 10 ini berisi perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk menguji wanita-wanita yang melarikan diri dari Makkah dan datang ke Madinah untuk meminta perlindungan.
Jika mereka datang karena telah beriman kepada Allah SWT maka Nabi diperintahkan untuk menerima dan melindungi mereka, karena wanita Muslimah tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir.
Namun jika mereka datang hanya karena perkara duniawi yang kabur dari suaminya bukan karena alasan memeluk Islam, maka Nabi diperintahkan untuk mengembalikan mereka. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Dalam tafsir Kementerian Agama RI disebutkan bahwa ayat ini menerangkan perintah Allah SWT kepada Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman tentang sikap yang harus diambil, jika seorang perempuan beriman yang berasal dari daerah kafir datang menghadap atau minta perlindungan.
Allah SWT menyatakan bahwa apabila datang seorang perempuan dari daerah kafir yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda keingkaran dan kemunafikan, maka perlu diperiksa lebih dahulu, apakah mereka benar telah beriman, atau datang karena melarikan diri dari suaminya, sedangkan ia sebenarnya tidak beriman.
Allah SWT memerintahkan yang demikian itu bukan karena Dia tidak mengetahui hal ihwal mereka. Allah Mahamengetahui hakikat iman mereka, bahkan mengetahui semua yang terbesit dalam hati mereka. Akan tetapi, untuk kewaspadaan dan berjaga-jaga di kalangan kaum Muslimin yang sedang berperang menghadapi orang-orang kafir, maka usaha-usaha mengadakan penelitian itu harus dilakukan, walaupun orang itu kerabat sendiri.
Jika dalam pemeriksaan itu terbukti mereka adalah orang-orang yang beriman, maka jangan sekali-kali kaum Muslimin mengembalikan mereka ke daerah kafir, sebab perempuan-perempuan yang beriman tidak halal lagi bagi suaminya yang kafir. Sebaliknya, pria-pria yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman.
Dari ayat ini dapat ditetapkan suatu hukum yang menyatakan bahwa jika seorang istri telah masuk Islam, berarti sejak itu ia telah bercerai dengan suaminya yang masih kafir. Oleh karena itu, ia haram kembali kepada suaminya. Ayat ini juga menguatkan hukum yang menyatakan bahwa haram hukumnya seorang perempuan muslimat kawin dengan laki-laki kafir.
Kemudian Allah menetapkan agar mas kawin yang telah diterima istri yang masuk Islam itu dikembalikan kepada suaminya. Menurut Imam Syafi'i, istri wajib mengembalikan mahar itu jika pihak suaminya yang kafir itu memintanya. Jika pihak suami tidak memintanya, maka mahar itu tidak wajib dikembalikan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa mahar yang wajib dikembalikan itu jika suaminya termasuk orang yang telah melakukan perjanjian damai dengan kaum Muslimin, sedang bagi suami yang tidak termasuk dalam perjanjian damai dengan kaum Muslimin maharnya tidak wajib dikembalikan. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hukum pengembalian mahar itu bukan wajib tetapi sunah dan itu pun jika diminta oleh suaminya.
Sementara itu kaum muslimin dibolehkan mengawini perempuan-perempuan mukminat yang berhijrah itu dengan membayar mahar. Hal ini berarti bahwa perempuan itu tidak boleh dijadikan budak, karena mereka bukan berasal dari tawanan perang. Allah menganjurkan kaum Muslimin mengawini mereka agar diri mereka terpelihara.
Allah SWT menerangkan bahwa penyebab larangan melanjutkan perkawinan istri yang beriman dengan suami yang kafir itu adalah karena tidak akan ada hubungan perkawinan antara perempuan-perempuan yang sudah beriman dengan suami-suami mereka yang masih kafir dan berada di daerah kafir.
Akad perkawinan mereka tidak berlaku lagi sejak sang istri masuk Islam. Sebaliknya jika yang pergi ke daerah kafir itu adalah istri-istri yang beriman kemudian ia menjadi kafir, kaum Muslimin diperintahkan untuk membiarkan mereka pergi. Akan tetapi, mereka harus mengembalikan barang-barang yang pernah diberikan suaminya yang Muslim.
Semua yang disebutkan itu adalah hukum-hukum Allah SWT yang wajib ditaati oleh setiap orang yang menghambakan diri kepada-Nya, karena dalam menetapkan hukum-Nya, Allah Mahamengetahui kesanggupan hamba yang akan memikul hukum itu dan mengetahui sesuatu yang paling baik dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.
Dalam menetapkan hukum itu, Allah SWT juga mengetahui faedah dan akibat menetapkan hukum serta keserasian hukum itu bagi yang memikulnya.