Kurikulum Merdeka Dinilai tak akan Efektif Jika Tata Kelola Guru Belum Dibereskan

Mendikbudristek Nadiem meluncurkan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional.

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Sejumlah guru honorer menangis ketika doa bersama berharap diangkat menjadi ASN atau PPPK, di kantor Pemkab Tegal, Jawa Tengah, Jumat (26/1/2024).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peluncuran Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dinilai masih menyisakan pekerjaan rumah. Persoalan tata kelola guru diyakini bisa mengganggu implementasi kurikulum yang digadang-gadang bakal meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik di Tanah Air tersebut. 

Baca Juga


“Sengkarut persoalan guru yang hingga saat ini belum tuntas akan menjadi sandungan efektivitas penerapan Kurikulum Merdeka. Harusnya pemerintah lebih dulu memprioritaskan penyelesaian manajemen pengelolaan guru sebelum menerapkan kurikulum baru termasuk Kurikulum Merdeka ini,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Kamis (28/3/2024). 

Huda mengatakan, apapun bentuk kurikulum pendidikan di Tanah Air, tidak akan efektif selama pemerintah tidak membereskan manajemen pengelolaan guru. Mulai dari persoalan jaminan kesejahteraan, pemerataan distribusi, hingga peningkatan kualitas tenaga pendidik secara berkala.

“Saat ini kita masih menghadapi ketidakjelasan kapan penuntasan program satu juta guru honorer menjadi PPPK, kita juga menghadapi ketimpangan jumlah guru di satu wilayah dengan wilayah lain, hingga persoalan minimnya literasi digital di sebagian besar guru di Indonesia,” katanya. 

Untuk diketahui, penetapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional ini mengacu pada Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Penerapan Kurikulum Merdeka dilaksanakan mulai tahun ajaran baru 2024/2025 dengan mempertimbangkan kesiapan satuan pendidikan. Kemendikbudristek memberikan masa transisi hingga tiga tahun ke depan. 

Deretan masalah tata kelola guru, kata Huda, kerap menjadi sandungan bagi efektifitas penerapan kurikulum pendidikan. Baik kurikulum pendidikan tahun 2023, kurikulum 2013, kurikulum transisi, hingga Kurikulum Merdeka. 

“Bagaimana para guru bisa berkosentrasi dengan baik mendidik anak bangsa jika mereka hanya mendapatkan honor Rp 300 ribu per bulan. Atau bagaimana bisa mereka menciptakan suasana belajar menyenangkan jika tidak kunjung ada kepastian kapan mereka diangkat menjadi PPPK,” katanya. 

Politikus PKB ini mengungkapkan, dalam Kurikulum Merdeka para guru mempunyai peran penting menciptakan skenario pembelajaran berdiferensiasi. Penyusunan skenario pembelajaran berdiferensiasi ini menjadi keharusan karena Kurikulum Merdeka mengidealkan sekolah sebagai wahana menumbuhkan kompetensi dan karakter masing-masing peserta didik.

“Agar bisa menyiapkan skenario pembelajaran berdiferensiasi ini maka seorang guru harus bisa menyusun tujuan pembelajaran (TP), merumuskan alur tujuan pembelajaran (ATP), menyusun kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran (KKTP), dan membuat modul ajar. Di sisi lain mereka harus berjibaku menutupi kebutuhan sehari-hari karena minimnya kesejahteraan,” urainya. 

Kurikulum Merdeka, kata Huda, juga mensyaratkan guru agar mempunyai literasi digital memadai. Kondisi ini terjadi karena banyaknya aplikasi digital dalam Platform Merdeka Belajar (PPM) yang digunakan untuk menunjang penerapan Kurikulum Merdeka. 

“Banyaknya aplikasi digital ini menjadi problem tersendiri karena minimnya literasi digital di kalangan tenaga pendidik di Indonesia. Selain itu belum meratanya infrastruktur jaringan internet di Tanah Air juga membuat para guru sulit mengakses PPM,” ujar dia.

Nasib guru honorer - (Republika.co.id)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler