Ritual Sapi Merah Yahudi untuk Robohkan Al Aqsa Bertepatan dengan Idul Fitri?
Yahudi meyakini sapi merah adalah jalan menuju penguasaan Al Aqsa
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepercayaan Yahudi Israel terhadap ritual penyembelihan sapi merah, menjadi salah satu doktrin dalam merebut Masjid Al Aqsa.
Dilansir laman alquds, patut dicatat bahwa tanggal yang tercatat dalam kitab suci agama kelompok ini untuk menyembelih sapi merah dan menyucikan diri dengan abunya adalah hari kedua bulan Ibrani Nisan, yang tahun ini jatuh pada 10 April 2024 mendatang. Ini diperkirakan akan berbarengan dengan hari Idul Fitri.
kelompok ekstremis Kuil mengandalkan fakta bahwa mengadakan ritual penyucian dengan Sapi Merah dapat membuka jalan bagi ratusan ribu umat Yahudi yang religius untuk menyerbu Masjid Al-Aqsa.
Jika hal ini terjadi, maka akan membuka jalan untuk melipatgandakan bahaya yang dihadapi Al-Aqsa dan melipatgandakan jumlah orang yang menyerbu dan melaksanakan ritual di sana.
Lima sapi merah adalah salah satu kepercayaan Yahudi yang diam-diam dilakukan oleh kaum ekstremis Yahudi baru-baru ini, demi membuka jalan bagi pembongkaran Masjid Al-Aqsa.
Menurut klaim Yahudi, segera setelah sapi itu muncul, waktu yang disebut “Juruselamat/sang Mesiah” akan tiba.
Sapi merah dalam bahasa Ibrani “Bara Aduma” adalah sapi yang ditunggu-tunggu oleh umat Yahudi untuk merobohkan Masjid Al Aqsa dan membangun Kuil Ketiga.
Kepala Rabi Israel melarang umat Yahudi memasuki Masjid Al Aqsa sebelum menyucikan diri menggunakan abu dari sapi merah. Itulah sebabnya umat Yahudi menunggu-nunggu kelahiran sapi merah untuk bisa masuk ke dalam Masjid Al Aqsa.
Namun, sapi merah yang mereka tunggu-tunggu harus lahir dalam keadaan yang bebas dari kecacatan, tidak memiliki aib, dan hal-hal yang buruk.
Juru bicara Kegubernuran Yerusalem, Marouf Al-Rifai mengatakan, hingga saat ini belum dapat dipastikan bahwa sapi-sapi tersebut sah secara hukum untuk mulai digunakan dalam langkah-langkah praktis, dan pemantauan masih terus dilakukan.
Dia menyampaikan bahwa “kemerahan” pada sapi-sapi tersebut lebih baik dibandingkan setahun yang lalu, dan tampaknya alasannya adalah karena guncangan yang dialami sapi-sapi tersebut selama transportasi udara ke Israel, selain itu terhadap perbedaan kondisi iklim antara Amerika dan Israel.
“Sapi-sapi ini berganti bulu setiap enam bulan sekali, yang berarti ada peluang tambahan bagi mereka untuk kembali ditumbuhi bulu merah. Ini juga berarti perlunya diskusi dan tindak lanjut setidaknya selama 12 bulan, sebelum beralih ke tahapan dan prosedur praktis," jelas dia.
Al-Rifai menambahkan, proyek “Pencarian Sapi Merah” dipimpin oleh dua organisasi sayap kanan ekstremis. Pertama, Organisasi Boneh Israel, yang mencakup kelompok Kristen evangelis dan tokoh pemukim sayap kanan ekstremis, yang dipimpin oleh “Tzachi Mamo,” yang juga dikenal karena aktivitas kolonial Yahudinya di lingkungan Palestina di Yerusalem Timur, khususnya di lingkungan Sheikh Jarrah.
Adapun organisasi kedua, menurut Al-Rifai, disebut “Institut Kuil” dan dipimpin oleh Rabi Yisrael Ariel yang rasis, yang merupakan pengikut gerakan ekstremis “Kach”, yang dilarang bahkan menurut hukum Israel.
Rabi Ariel dianggap sebagai salah satu orang yang dekat dengan ekstremis sayap kanan Itamar Ben Gvir, yang menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional di pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Keyakinan kuno
Merujuk pada tradisi Yahudi, abu hasil dari pembakaran sapi merah dibutuhkan dalam ritual pemurnian yang akan menjadi jalan dibangunnya Kuil Ketiga di Yerusalem. Kuil itu, menurut keyakinan kelompok Yahudi radikal, harus dibangun di atas dataran tinggi di Kota Tua Yerusalem, di mana lokasi persisnya terletak Bukit Bait Suci, di titik Masjid Al-Aqsa dan Dome of the Rock kini berdiri. Mereka percaya, kuil itu menjadi salah satu syarat datangnya Mesiah turun ke bumi.
Temple Institute menjelaskan bahwa sapi dara berwarna merah itu datang ketika persiapan meletakkan dasar bagi pembangunan Kuil Ketiga di Yerusalem. Hal ini dilaporkan The Jerusalem Post pada September 2022.
Sapi merah pertama kali disebutkan dalam Kitab (19:3) yang dipercaya Yahudi Israel. Teks kitab itu berbunyi, "Ketika Tuhan memberi tahu Musa dan Harun, 'Inilah hukum ritual yang diperintahkan Tuhan: Perintahkan orang Israel untuk membawakanmu seekor sapi merah tanpa cacat, yang tidak ada di dalamnya cacat dan tidak ada kuk yang dipasang padanya'.”
Kitab Taurat selanjutnya menjelaskan bagaimana sapi diolah dan dibakar serta abunya dicampur ke dalam air yang disucikan. Mereka yang menjadi najis karena menyentuh mayat manusia akan disucikan dengan cara memercikkan air bercampur abu tersebut dua kali.
Yakni tiga hari sekali setelah mereka bersentuhan dengan mayat tersebut, dan yang kedua tujuh hari setelah mereka kontak dengan mayat.
Kitab Taurat menceritakan bahwa seekor lembu merah dibawa ke Imam Elazar, putra Harun, dan diolah untuk dijadikan abu untuk ritual tersebut. Menurut Talmud, abu tersebut digunakan sejak saat itu hingga akhir periode Kuil Pertama. Selama periode Kuil Kedua, lima hingga tujuh sapi dara merah lainnya dibakar untuk dijadikan abu.
Maimonides menulis dalam ringkasan hukum Yahudi, Mishneh Torah (Laws of the Red Heifer, 3:4), bahwa sapi merah berikutnya akan dibawa oleh Mesias.
Di zaman modern, semua orang Yahudi termasuk kohanim (pendeta/ imam Yahudi) dianggap najis karena kotoran yang ditimbulkan oleh mayat. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari di zaman modern status ini tidak mempunyai banyak dampak praktis, mereka yang najis dengan jenis kenajisan ini dilarang memasuki kuil.
Kohanim (imam Yahudi) yang tidak suci dengan jenis kotoran (najis) ini dilarang melakukan pelayanan yang diperlukan di Kuil.
Imam Yahudi itu perlu disucikan dengan abu sapi merah sebelum dapat melayani lagi, sehingga pembuatan abu tersebut merupakan persyaratan yang diperlukan untuk segala upaya, untuk membangun kembali kuil suci Yahudi ketiga di Yerusalem.
Satu pengecualian adalah pengorbanan Pascal, yang dapat dipersembahkan bahkan oleh mereka yang najis dengan najis dari mayat, selama mayoritas orang Yahudi najis dengan jenis-najis ini.