Makna Baju Baru di Hari Raya Idul Fitri
Idul fitri harus disambut dengan perbaikan kualitas ibadah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari raya Idul Fitri tinggal menghitung hari, setiap umat Muslim yang sudah menunaikan puasa Ramadhan tidak bersabar untuk menyambut perayaan Idul Fitri dengan berbagai tradisi. Mulai dari tradisi Tunjangan Hari Raya (THR), menggunakan baju baru, menyiapkan cemilan, dan masak makanan yang identik dengan hari raya.
Tradisi memakai baju baru pada hari raya Idul Fitri memiliki makna simbolis yang dalam. Baju baru merupakan lambang kesegaran dan kebersihan, serta merupakan wujud dari kesyukuran dan kebahagiaan atas kemenangan spiritual yang diraih setelah menjalani ibadah puasa Ramadhan.
Memakai baju baru juga merupakan bentuk perayaan dengan cara yang istimewa. Namun, penting untuk diingat bahwa makna dari tradisi ini tidak hanya terletak pada baju baru itu sendiri, tetapi juga pada kesadaran akan nikmat dan keberkahan yang diberikan oleh Allah SWT.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُبَّةٌ يَلْبَسُهَا لِلْعِيْدَيْنِ وَيَوْمِ الجُمُعَةِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idul Fitri dan Idul Adha, juga untuk digunakan pada hari Jumat. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahih-nya, 1765).
Melalui hadis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Rasulullah memakai pakaian khusus untuk digunakan ketika hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menggunakan baju baru diperbolehkan, namun harus memperhatikan kondisi keuangan jangan sampai memaksakan membeli baju baru ketika tidak memiliki keuangan yang cukup.
Di sisi lain, tradisi hidangan makanan mewah pada hari raya Idul Fitri juga seringkali menjadi sorotan dalam perayaan ini. Hidangan-hidangan yang lezat dan mewah dianggap sebagai bagian integral dari merayakan kemenangan spiritual dan kebahagiaan bersama keluarga dan kerabat. Namun, perlu diingat bahwa meskipun makanan yang lezat adalah nikmat dari Allah SWT yang patut disyukuri, berlebihan dalam konsumsi makanan mewah bisa menyebabkan pemborosan dan tidak mengingat mereka yang kurang mampu.
Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jajang Jahroni mengatakan, perayaan hari raya Idul Fitri tidak harus menggunakan baju yang baru. Menurutnya, menggunakan pakaian yang sederhana juga masih bisa mengikuti hari raya Idul Fitri.
“Tidak harus menggunakan baju yang baru,” katanya, Rabu (3/ 4).
Lihat halaman berikutnya >>>
Jajang menjelaskan, menyiapkan atau memakanan makanan yang mewah pada hari perayaan Idul Fitri juga diperbolehkan. Namun, yang harus diperhatikan yaitu porsi makanannya sehingga tidak berlebihan dan menjadi dampak negatif bagi kesehatan.
Selain itu, Jajang juga melihat budaya hari raya Idul Fitri setiap tahun berbeda-beda. Mulai dari tren baju, macam-macam gaya masakan, makanan, dan lain-lain.
Sebagai umat Muslim, penting untuk menyadari bahwa tradisi baju baru dan makanan mewah dapat digabungkan dengan kesadaran sosial dan kepedulian terhadap sesama. Misalnya, kita dapat memilih untuk memberikan sebagian dari pengeluaran untuk baju baru kepada mereka yang membutuhkan, atau berbagi hidangan makanan dengan orang-orang yang kurang beruntung.
Dengan demikian, tradisi tersebut tidak hanya menjadi ekspresi kegembiraan pribadi, tetapi juga menjadi wujud kasih sayang dan kepedulian kepada sesama.