SDM ekonomi syariah masih terkendala kurikulum dan kualitas.
Antara/Hafidz Mubarak A
Warga mencari informasi mengenai Surat Berharga Negara (SBN) jenis Sukuk Tabungan Seri ST010 di Jakarta, Kamis (18/3/2023). Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menyebut realisasi pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) hingga kuartal I/2023 mencapai Rp217,6 triliun.
Red: Stevy maradona
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju perkembangan ekonomi syariah di Indonesia masih terganjal persoalan sumber daya manusia. Kurang dari 10 persen SDM ekonomi syariah, terutama di bidang keuangan, yang berlatarbelakang spesifik ekonomi syariah. Sisa 90 persen lainnya masih datang dari SDM umum. Pemerintah diminta segera bertindak untuk mengatasi persoalan ini.
Hal ini mengemuka dalam diskusi publik yang digelar lembaga riset Indef, Kamis (4/4/2024). Diskusi bertajuk 'Mengonkretkan Omon-Omon Ekonomi Syariah: 5 Tantangan Utama dan Opsi Solusi'. Hadir sebagai pembicara di diskusi tersebut adalah Prof Nur Hidayah, associate peneliti Indef yang juga guru besar UIN Jakarta; Hakam Naja, associate peneliti Indef yang pernah menjadi anggota DPR RI 2014-2019; Handi Risza, wakil rektor Universitas Paramadina, dan Berly Martawardaya, direktur riset INDEF.
Prof Nur Hidayah mengemukakan, dari data masterplan ekonomi keuangan syariah 2019 - 2024 terlihat masih minimnya jumlah lulusan tenaga ahli yang tersertifikasi, yakni hanya 231 orang (2018).
Data lainnya, dari perbankan juga menunjukkan adanya permasalahan di sisi kesesuaian kualifikasi pendidikan dengan bidang tugas. Hanya sekira 9,1 persen pegawai keuangan syariah yang berlatar belakang pendidikan ekonomi syariah.
"Artinya, 90 persen supply tenaga kerja perbankan dan keuangan syariah bukan berasal dari prodi ilmu ekonomi dan keuangan syariah," kata dia.
Tren yang terjadi saat ini, sambung dia, industri keuangan dan ekonomi syariah lebih memilih untuk memanfaatkan lulusan yang ada, kemudian diberikan pengetahuan dan keterampilan industri ekonomi dan keuangan syariah.
Persoalan lanjutan, selain dari minim latar belakang ekonomi syariah, SDM juga perlu kemampuan teknologi digital yang mumpuni bagi alumni ekonomi dan keuangan/perbankan syariah. Ini agar bisa memenuhi tuntutan industri keuangan dan ekonomi syariah.
Untuk itu, Prof Nur meminta pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu melakukan hal hal yang konkrit untuk program peningkatan SDM ekonomi perbankan dan keuangan syariah. "Perlu perombakan kurikulum ekonomi dan keuangan syariah agar lebih match dengan kebutuhan industri keuangan dan ekonomi syariah," kata dia. Perombakan itu dilakukan antara lain dengan mendesain kurikulum yang memadai untuk mengintegrasikan bobot ilmu ekonomi syariah dengan ilmu ekonomi keuangan dan perbankan murni sehingga lulusan memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan, tidak hanya ilmu syariah tapi juga ilmu murni ekonomi keuangan dan perbankan.
Associate peneliti Indef yang juga mantan anggota DPR dari Fraksi PAN, Hakam Naja, mengusulkan agar lebih konkrit urusan ekonomi syariah ini perlu diurus langsung di bawah satu menteri koordinator. Ia menilai hal itu perlu dikaji segera.
"Saat ini nampak tidak adanya upaya serius untuk membangun ekosistem ekonomi syariah," kata dia. "Baiknya ke depan hal itu menjadi agenda yang dimasukkan dalam program salah satu menteri koordinator. Agar pertanggungjawabannya jelas, pelaksanaannya juga terjadwal dan tidak ada ego sektoral antar kementerian," kata dia, menjabarkan.
Semua itu dibutuhkan, sambung Hakam, agar ada satu mainstream (arus utama) ekonomi syariah yang diurus dengan benar.