Mengais Harapan di Bawah Sinar Rembulan
Minggu malam di Kota Hujan (Bogor). Malam itu saya sedang bergegas pulang pasca turun dari rangkaian gerbong kereta commuterline Jabodetabek di pemberhentian akhir, stasiun Bogor.
Sebagaimana malam pada biasanya ditengah kota Bogor, sepanjang jalan dari stasiun sampai titik dimana angkot itu berada yang kusaksikan tinggallah para aktivis malam yang gemar menghabiskan waktunya di malam hari. Dengan bising suara saut menyaut supir angkot yang hendak menarik perhatian para penumpangnya, diadu dengan berbagai tawa dan teriakan orang-orang jalanan yang kurasa sudah sedikit banyaknya meneguk minuman bercampur alkohol, sedikit membuat malam di tengah kota metropolitan seperti Bogor tak terlalu sepi.
Tapi ini bukanlah tentang kehidupan malam di tengah kota hujan yang juga dikenal dengan kota seribu angkotnya. Bukan juga tentang sisi gelap kota Bogor yang memang dulu sempat menempati posisi puncak sebagai kota LBGT.
Sepenggal cerita ini tentang kacamataku yang memotret seorang anak kecil bertampang putih bersih, memegang sebuah gitar kecil di tangan kanannya dan sebatang rokok – entah jenis rokok apa – di tangan kirinya, yang dugaanku usinya kisaran anak kelas 3 SD. Sambil menghisap rokoknya ia duduk diatas bongkahan batu dengan sesekali memetikkan gitar kecilnya di dekat sebuah pos kepolisian sembari menanti angkot mana yang akan ia singgahi untuk mengais rezeki.
Tak seperti anak jalanan biasanya. Paras putih dan imutnya yang seperti mencerminkan seorang anak yang dirawat dan dimanja betul oleh orang tuanya itu masih sulit bisa dicerna sekilas oleh pandanganku kalau wajah itu hadir dihadapanku dengan sosok seorang pengamen jalanan. Di tambah lagi waktu yang juga kian mendekati pergantian hari, membuat rasa iba ini seakan semakin terus mengetuk keras hati nurani.
Nahas, aku yang berharap segera menghapus sosok itu dari ingatan setelah kunaiki angkot yang kutumpangi justru makin menjadi-jadi. Bukan keinginanku, tapi ia ternyata singgah di angkot yang juga kunaiki. Duduk di depan pintu masuk dengan gitar kecilnya dan rokok yang dengan cepat ia matikan agar tak mengganggu para penumpang. Satu dua senar sudah ia petik, mulailah ia bernyanyi dengan suara halus – walau tak begitu bagus – lagu yang sebenarnya sekilas malam itu tak asing masuk menyapa gendang telingaku.
Perjumpaan yang lebih dekat diiringi lantunan lagu yang dibawakannya di dalam angkot itu semakin memancing rasa penasaran ini untuk bertanya banyak hal kepada sang anak. Tapi apalah daya, waktu yang amat singkat itu hanya mampu menampung satu pertanyaanku perihal tempat tinggalnya ketika kumasukan sedikit sisa uang kecilku ke dalam wadah permen kosong – yang ia ajukan kepada para penumpang – selepas bibir kecilnya berhenti bernyanyi. Itupun tak cukup menjawab salah satu rasa penasaranku. Karena ia hanya menjawab, “di ditu – red di sana” sambil menunjukkan gestur tangan menunjuk ke arah belakang lajunya angkot.
Menerka Siapa yang Harus disalahkan
Melihat fenomena sosial yang terjadi diluar rumah sebagaimana halnya pengemis kecil jalanan malam itu cukup membuat diri ini sedikit overthinking sebelum terlelap dalam selimut mimpi. Terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan melintas dalam pikiran hanya karena satu sosok anak kecil di bawah rembulan malam.
Kadang kubertanya, apakah ini salah sang orang tua yang tega begitu saja menelantarkan anaknya di tengah hiruk pikuknya kota? Ataukah justru ada peran orang tua sebagai dalang dibalik apa yang dilakukan sang anak tersebut? Atau memang sang anak telah ditinggal selamanya – mati – oleh kedua orang tuanya dan tak diperdulikan oleh keluarganya? Lantas apakah orang tua dalam konteks ini menjadi akar masalahnya?
Tapi di sisi lain, malam itu sang anak tengah duduk di dekat pos kepolisian saat sedang menunggu angkot yang akan disinggahinya. Kadang kubertanya juga, apakah pihak aparat ataupun pemerintah dengan para perangkatnya melek akan fenomena seperti itu? Ataukah aparat kepolisian khususnya telah menganggap hal seperti itu lumrah adanya? Atau pemerintah pun sebenarnya tak bisa berbuat banyak jika harus mengurusi setiap individu jalanan terlebih anak-anak yang turut dieksploitasi? Lantas apakah pemerintah dengan segala perangkatnya dalam konteks ini patut kita salahkan?
Namun jika berkaca pada diri sendiri sebagai seorang mahasiswa, melihat realitas sosial yang demikian kerasnya kadang terbesit pertanyaan, apakah selama ini hak-hak mereka yang kerap – katanya – kita suarakan itu hanya tersimpan dalam lembaga bernama Dewan Perwakilan Rakyat? Atau jangan-jangan sejauh ini kita sebenarnya tak menyuarakan mereka yang masih mengadu nasib di jalanan? Ataukah penelitian-penelitian kita tentang gejala sosial itu hanyalah sebatas teks semata? Lantas apakah mahasiswa yang merupakan cendikiawan bangsa ini turut andil juga dan wajib dipersalahkan?