Khutbah Idul Fitri 1445 H: Persaudaraan Adalah Kunci Kemajuan Bangsa dan Negara
Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan
Oleh : KH M Cholil Nafis PhD, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah
REPUBLIKA.CO.ID,
الخطبةالأولى
الله ُأَكْبَرُ – الله ُأَكْبَرُ – الله ُأَكْبَرُ –3 X ُ
كَبِيْرًا, وَالحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْراً, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاَ, لاَإِلهَ إِلاَّالله ُوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَاإِلهَ إِلاَّالله ُوَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيّاَهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ المُشْرِكُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ المُناَفِقُوْنَ.
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِالله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً.. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَباَرِكْ عَلىَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَماَّ بَعْدُ
فَيَآأَيُّهَاالمُؤْمِنُوْنَ وَالمُؤْمِناَتِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. اتَّقُوْا الله َحَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Allahu akbar 3 X Walillahi al hamdu
Jamaah Idul Fitri yang berbahagia..
Di pagi hari nan cerah, dalam suasana yang khidmat dan penuh makna di tengah nuansa kebahagiaan dan kegembiraan di hari kemenangan umat Islam, maka kita merayakan Idul Fitr secara bersama-sama mayoritas masyarakat Indonesia meskipun saat memulai puasa ada perbedaan. Hari ini kaum muslimin telah lulus melatih diri dalam madrasah kemanusiaan (madrasah insaniyah) selama sebulan Ramadhan dan menang hingga lulus melewati ujian “jihad akbar”, perang melawan hawa nafsu. Kita wajib merayakan kemenangan dan kembali makan di siang hari sebagainama fitrahnya, kaum muslimin disunnahkan (dianjurkan) dimanapun berada untuk mengagungkan nama Allah, memperbanyak takbir, tahmid, tahlil dan tasbih atas hidayah Allah SWT. yang diberikan kepada kita sebagai ungkapan rasa syukur kepada-Nya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kemu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur” (QS. Al Baqarah/2: 185)
Allahu akabar 3X Walillahi al hamdu
Kaum Muslimin wal Muslimat rahimakumullah.
Ibadah puasa yang telah kita lakukan sebulan lamanya, bukan hanya telah menghapus dosa-dosa yang telah kita lakukan sehingga kita kembali pada fitrah, melainkan juga telah memberi pelajaran yang sangat berharga. Yaitu terbentuknya nilai insan kamil (manusia sempurna) dalam diri kita, baik dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) maupun dalam kontek hubngan manusia dengan manusia (hablum minannas). Melalui ibadah puasa Allah SWT ingin mengajarkan dan mendidik hamba-hamba-Nya agar memliki kesalehan individu (spiritual) dan sekaligus kesalehan sosial. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau ditinggalkan salah satunya, karena keduanya satu-kesatuan yang memiliki hubungan fungsional, bagaikan Matahari dengan sinarnya. Keduanya menjadi prasyarat bagi terciptanya kesejahteraan, kebahagiaan dan kedamaian bagi setiap insan. Allah SWT berfirman:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ بِحَبْلٍ مِّنْ اللّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ
“Mereka diliputi kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali senantiasa menjaga hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.” (QS Ali Imran: 112)
Allah akbar 3X Walillahi al hamdu
Jamaah shalat Idul Fitri yang berbahagia
Guna mengimplementasikan keberhasilan ibadah puasa maka pada hari ini kita merayakan lebaran Idul Fitri. Yaitu kembali kepada kebiasaan hidup kita makan di siang hari, saat bersamaan kita telah menggapai fitrah diri manusia karena dosa-dosa dan belenggu hati nurani telah Allah SWT ampuni dan dihapus sehingga kita bagaikan anak yang baru dilahifrkan. Fitrah adalah asal kejadian, keadaan suci. Fitrah adalah sesuatu yang universal. Karena seperti yang dikatakan Rasulullah SAW bahwa umat manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (kullu mauludin yuladu ‘ala al fitrah). Ini artinya bahwa fitrah adalah sesuatu yang inheren dengan jati diri manusia. Jati diri manusia adalah keberadaan umat manusia sebagai hamba Allah, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sekaligus sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.
Implementasi kefitrahan kita harus tampak dalam perannya menjadi pelita dan penolong kepada yang lain. Sebab manusia yang sukses dan yang terbaik adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada orang banyak. Seseorang akan lebih baik dan sukses manakala ia banyak menebarkan kebaikan kepada orang banyak. Sebab hidup ini akan dituntut oleh Allah SWT dengan dua hal, yaitu apa jasanya dan apa legasinya (ma qaddamu wa atsarahum). Hidup ini hanya melewati waktu yang akan dicatat apakah tindakannya akan menjadi torehan sejarah atau hal sia-sia di tong sampah.
Cara yang paling efektif untuk lebih produktif berbuat maslahat kepada masyarakatb ialah membangun persaudaraan yang kokoh. Persaudaraan itu dapat dibangun atas saling mengenal (ta’aruf), saling memahami (tafahum) dan saling menolong dan melindungi (ta’awun wa takaful). Dalam konteks persaudaraan, Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin membagi tingkatan persaudaraan kepda tiga level.
Pertama, persaudaraan yang dibangun atas saling tolong menolong untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah. Persaudaraan seperti ini hanya sebatas menolong atas saudaranya yang lain tak lebih dari sekedar berbagi dan peduli. Kedua, persaudaraan yang menganggap orang lain adalah dirinya. Bahwa apa yang terjadi kepada dia adalah sama denga apa yang terjadi kepada dirinya sehingga menganggap apa yang dimiliki olehnya adalah untuk membantu saudaranya. Ketiga, persaudaraan yang sampai pada derajat mengutamakan dia dari pada dirinya sendiri. Ia rela memberi kepada saudaranya meskipun pada saat yang bersamaan sedang membutuhkannya tapi mengalah dan memberinya demi menolong saudaranya (wayu’tsiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khashsahah).
Persaudaraan level tertinggi ini dasarnya iman dan pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada kaum muslimin Ansor di Madinah dengan kaum muslimin Muhajirin dari Mekkah saat berhijrah bersama Nabi saw. Suatu saat sahabat Ansor bernama Sa’dad bin Rabi’ menawarkan kepada Abdurrhaman bin “Auf untuk dibagi dua hartanya dan separuh untuk dia. Menerima tawaran demikian, maka Abdurrahman tidak aji mumpung tapi dia menolak dan mendoakan kepadanya, "Semoga Allah memberkahi kamu, keluargamu dan hartamu, namun tolong tunjukkan kepadaku di mana lokasi pasar."
Rasulullah SAW menggambarkan persaudaraan dibangun atas iman seperti satu fisik (kaljasadil wahid) sehingga saling merasakan antar saudara, dan bagaiklan satu bangunan (kalbunyanil wahid) yang saling menguatkan antar sesama. Kedua hadits tersebut oleh Ibnu Khaldun dirumuskan dalam teori fanatisme positif (al-ta’ashshub al-ijabi). Yaitu fanatisme atas dasar iman dan kebaikan bersama sehingga dapat dibangun dan dikuatkan menjadi kekuatan sosial yang baik dan untuk kebaikan.
Dalam konteks persaudaraan ini, kiranya patut kita merevitalisasi konsep “trilogi ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Shiddiq (1926-1991). Konsep trilogi ukhuwah adalah menyatukan antara ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan dalam ikatan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Ukhuwah Islamiyah, adalah persaudaraan sesama pemeluk agama Islam, baik dalam bingkai kenegaraan atau bingkai keumatan. Inilah modal umat Islam dalam melakukan interaksi sosial sesama muslim. Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan untuk membangun persatuan antar anak bangsa dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Inilah modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen bangsa Indonesia yang majmuk, tentu saja tidak terbatas pada satu agama atau suku semata. Sementara, ukhuwah basyariyah adalah persaudaraan yang paling mendasar sebagai manusia yang lahir dari bapak dan ibu yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Ini prinsip dan landasan untuk membangun persaudaraan manakala ukhuwah Islamiyah atau ukhuwah wathaniyah tak lagi mengikat dengan kuat.
Eratnya tiga ukhuwah dalam diri umat sehingga tercipta persatuan dan kesatuan akan terbangun ukhuwah insaniyah. Sebuah persaudaraan yang dapat membangun peradaban manusia.
Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu
Jamaah Idul Fitri yang berbahagia...
Persaudaraan harus dibangun atas landasan cinta kasih. Cinta kasih dalam doktrin ajaran agama Islam bukanlah cinta kasih dalam artian sempit yang hanya terbatas pada kerabat dekat, ras, suku, golongan atau kelompok tertentu, tetapi cinta kasih dalam Islam bersifat universal (menyeluruh) yang mencakup semua makhluk ciptaan Allah, tanpa harus ada sekat-sekat atau dinding pemisah apapun namanya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
لَنْ تُؤْمِنُوْا حَتّى تَرْحَمُوْا قَالُوا ياَ رَسُوْلَ اللهِ كُلُّناَ رَحِيْمٌ, قَالَ إِنَّهُ لَيْسَ بِرَحْمَةِ أَحَدِكُمْ وَلَكِنَّهَا رَحْمَةُ العاَمَّةِ.(رواه البخاري)
Artinya: “Tidak akan sempurna iman kalian sehingga kalian menyayangi. para sahabat berkata: Yarasulullah kami semua sudah saling menyayangi. Nabi saw bersabda: Bahwa sayang yang dimaksud bukan sayang sekedar sayang kepada salah seorang diantara kamu, tetapi sayang (yang dimaksud) ialah sayang yang bersifat universal.” (HR Bukhari).
Cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan semua makhluk, khususnya manusia sebagai makhluk sosial. Seorang hamba butuh kasih sayang Tuhannya, anak butuh kasih saying ibu, murid butuh kasih sayang guru, istri butuh kasih sayang suami, karyawan butuh kasih sayang bosnya, pembantu butuh kasih sayang majikannya, yang muda butuh kasih saya yang tua dan demikian seterusnya. Karenanya, seseorang tidak mungkin bisa hidup tanpa kasih sayang. Betapa berartinya kasih sayang itu, sampai-sampai Allah SWT menyebutkan nama diri setalah nama Allah ialah nama Yang Mahapengasih (Ar Rahman) dan Yang Mahapenyayang (Ar Rahim). Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama Allah yang amat dominan.
Dalam Alquran kata Ar-Rahman terulang sebanyak 57 kali, sedang Ar-Rahim sebanyak 95 kali. Karena itu, kedua nama inilah yang ditempatkan menyusul penyebutan nama Allah SWT, dan karena ini pula agaknya, yang menjadi sebab sehingga Nabi Muhammad SAW melukiskan setiap pekerjaan apapun yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim (menyebut nama Allah Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang) adalah buntung (aqtha’), hilang berkahnya.
Rasulullah SAW saat diceritakan tentang kerasulannya digambarkan dalam Alquran surat At-Taubah ayat 128 bahwa beliau adalah seorang Rasul dari kaum manusia sendiri, berat terasa olehnya penderitaan umatnya, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi orang-orang mukmin, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Sifat Allah SWT yang Rauf dan sifat Rahim disematkan kepada Rasulullah SAW tentu sebatas kemampuan manusia. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan akhir ayat tersebut dengan ungkapan, sangat mengasihi dan menyayangi orang-orang mukmin. Ra’fah itu lebih lembut dari rahmah, yang mana disertai dengan kelemahlembutan yang mampu menghilangkan sebab suatu musibah. Dan rahmat itu di dalamnya mengandung kebaikan dan pemberian.
Berikutnya, persaudaraan dapat lestari harus dibangun atas dasar saling melaksanakan hak dan kewajiban. Seringkali seseorang pandai menuntut hak tapi abai terhadap kewajibannya. Seperti saling menolong dalam masalah kebaikan, tidak saling menyakiti dan dan saling memberi rasa damai dari semua ucapan dan tindakanya. Bahkan Islam sangat menganjurkan saling memberi untuk memupuk rasa saling mencintai dan menyayangi. Sifat meminta seringkali menimbulkan acuh dan bahkan mengurangi harkat martabat diri. Tangan yang memberi itu lebih utama daripada menerima. Maka untuk merawat rasa cinta harus dibangun atas saling memberi. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: تَهَادُوا تَحَابُّوا
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saling memberi hadiahlah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari dalam al-adab al-mufrad nomor 269).
Kalau kita analisa menggunakan teori ilmu sharf pada kata “تهادا” menggunakan istilah musyarakah yang artinya ada feedback dari orang yang diberi hadiah. Dan inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Memang terkadang orang yang diberi hadiah tidak punya modal untuk memberikan yang lebih atau bahkan yang semisal tapi bisa membalasnya dengan ucapan yang baik dan mendoakan.
Allahu akbar 3X Walillahi al hamdu
Kaum Muslimin wal Muslimat rahimakumullah...
Pada hari kemenangan kita dalam mengikat hawa nafsu untuk mencapai ketaqwaan melalui ibadah puasa sebulan penuh, menahan lapar, haus dan hubungan seksual di siang hari, maka marilah, kita tunjukkan indikator keberhasilan dalam meraih ketakwaan, kita tunjukkan kesejatian diri yang “fitri” yang senantiasa menebarkan cinta kasih, persaudaraan, kebersamaan, kemampuan menahan amarah, dan mampu memaafkan orang lain. Fitrah yang sesungguhnya adalah ketika taqwanya bertambah, berarti persaudaraan semakin rekat, peran serta kemanusiaan lebih baik, amal salehnya meningkat dan semakin menjauhkan diri dari prilkau-prilaku maksiat. Jadi kembali ke fitrah berarti kembali mendengarkan suara hati nurani yang paling dalam yang sudah kita jernihkan dengan berpuasa. Bersikap fitrah adalah berorientasi pada pemenangan “ruh ilahi” atas tanah “Lumpur”. Semoga Allah SWT menuntun dan membimbing kita untuk selalu menjaga jiwa kita agar tetap bertaqwa dan berjalan pada fitrahnya.
Dengan kembali ke firah diri, mudah-mudahan kita tambah memperekat tali persaudaraan dan persatuan. Tugas kita kita adalah mengisi kemerdekaan dan merealisasikan cita-cita para pahlawan dalam menggapai kemaslahatan bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua itu dapat dicapai dengan spirit persaudaraan yang dilatih selama puasa Ramadhan. Semoga Allah SWT menuntun dan membimbing kita untuk selalu menjaga jiwa kita agar apa yang kita perbuat tetap selalu ikhlas karena Allah SWT. Amin.
جَعَلَناَ الله ُوَإِياَّكُمْ مِنَ العاَئِدِيْنَ وَالفَآئِزِيْنَ وَأَدْخَلَناَ وَاِيَّاكُمْ فِيْ زُمْرَةِ عِباَدِهِ المُتَّقِيْنَ. قَالَ تَعَالَى فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ . يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ اليُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ العُسْرَ وَلِتُكْمِلُوْاالعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْاالله َعَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ.
بَارَكَ الله ُلِيْ وَلَكُمْ فِيْ القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنيِ وَاِيّاَكُمْ بِمَافِيْهِ مِنَ الذِّكْرِ الحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ.
الخطبة الثانية لعيد الفطر
الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر – الله أكبر كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً لاَ إِلَهَ إِلاّاَلله ُوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَ إِلَهَ إِلاّاَلله ُوَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ المُشْرِكُوْنَ وَلَوْكَرِهَ الكاَفِرُوْنَ وَلَوْكَرِهَ المُناَفِقُوْنَ. الحَمْدُ لِلّهِ حَمْداً كَثِيْرًا كَماَ أَمَرَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ الله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ إِرْغاَماً لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَناَ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُ الخَلَآئِقِ وَالبَشَرِ. صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ مَصَابِيْحَ الغُرَرِ. أَمَّا بَعْدُ:
فَيآأَيُّهاَالحاَضِرُوْنَ. أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ. وَافْعَلُوْاالخَيْرَ وَاجْتَنِبُوْآ عَنِ السَّيِّآتِ. وَاعْلَمُوْآ أَنَّ الله َأَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّابِمَلَآئِكَةِ المُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ. فَقاَلَ تعالى فِيْ كِتاَبِهِ الكَرِيْمِ أَعُوْذُ باِلله ِمِنَ الشَّيْطاَنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَحِيْمِ. إِنَّ اللهَ وَمَلَآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيْ يَآأَيُّهاَالَّذِيْنَ آمَنُوْآ صَلُّوْآ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. فَأَجِيْبُوْآالله َاِلَى مَادَعَاكُمْ وَصَلُّوْآ وَسَلِّمُوْأ عَلَى مَنْ بِهِ هَدَاكُمْ. اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصِحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. وَعَلَى التَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَارْضَ الله ُعَنَّا وَعَنْهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الراَحِمِيْنَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِناَتِ وَالمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ الأَحْيآءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعُ قَرِيْبٌ مُجِيْبٌ الدَّعَوَاتِ. اللَّهُمَّ انْصُرْأُمَّةَ سَيّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللَّهُمَّ اصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللّهُمَّ انْصُرْ أُمَّةَ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ. اللّهمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ. وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الدِّيْنَ. وَاجْعَلْ بَلْدَتَناَ إِنْدُوْنِيْسِيَّا هَذِهِ بَلْدَةً تَجْرِيْ فِيْهَا أَحْكاَمُكَ وَسُنَّةُ رَسُوْلِكَ ياَ حَيُّ ياَ قَيُّوْمُ. يآاِلهَناَ وَإِلهَ كُلِّ شَيْئٍ. هَذَا حَالُناَ ياَالله ُلاَيَخْفَى عَلَيْكَ. اللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنّاَ الغَلآءَ وَالبَلآءَ وَالوَبآءَ وَالفَحْشآءَ وَالمُنْكَرَ وَالبَغْيَ وَالسُّيُوفَ المُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَآئِدَ وَالِمحَنَ ماَ ظَهَرَ مِنْهَا وَماَ بَطَنَ مِنْ بَلَدِناَ هَذاَ خاَصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ المُسْلِمِيْنَ عاَمَّةً ياَ رَبَّ العَالمَيِنَ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالمُسْلِمِيْنَ وَأَهْلِكِ الكَفَرَةَ وَالمُبْتَدِعَةِ وَالرَّافِضَةَ وَالمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ. وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ. رَبَّناَ اغْفِرْ لَناَ وَلِإِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِالإِيمْاَنِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّناَ اِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيْمٌ. رَبَّناَ آتِناَ فِيْ الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذَابَ النَّارِ وَالحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ العاَلمَيِنَ